Presiden Prabowo Subianto resmi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025, memberi amnesti dan abolisi bagi lebih dari seribu narapidana, termasuk Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong.
Langkah ini bukan sekadar prosedur konstitusional berdasarkan Pasal 14 UUD 1945, melainkan sinyal korektif terhadap praktik hukum yang selama ini kerap dikendalikan oleh kekuasaan, bukan keadilan.
Pemberian amnesti kepada tokoh seperti Hasto dan Lembong dibaca sebagai pengakuan bahwa mereka adalah korban kriminalisasi politik, bukan pelaku kejahatan. Ini menjadi bentuk tanggung jawab negara atas praktik hukum yang menyimpang.
Megawati Soekarnoputri, dalam Kongres PDIP di Bali, menyiratkan dukungan moral terhadap langkah Prabowo. Ia menegaskan pentingnya menjaga jalannya hukum agar tidak lagi menjadi alat kekuasaan.
Amnesti ini juga mencakup ratusan narapidana kasus penyalahgunaan narkotika. Hal ini membuka diskursus lebih dalam soal kegagalan sistem peradilan dalam membedakan antara pengguna dan pengedar narkoba.
Alih-alih mendapat rehabilitasi, para penyalah guna justru dijebloskan ke penjara. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma hukum yang represif lebih dominan daripada pendekatan pemulihan.
Dalam konteks ini, Prabowo memberi sinyal penting bahwa keadilan substantif harus didahulukan. Penyalah guna narkotika dan korban judi online bukan sekadar pelaku, melainkan refleksi dari tekanan ekonomi dan lemahnya regulasi digital.
Namun amnesti ini juga menjadi cermin kegagalan sistemik. Bila hukum berjalan benar, pengampunan tidak akan dibutuhkan. Maka reformasi sistem hukum harus menyasar pada perubahan pedoman teknis aparat penegak hukum.
Keadilan tidak cukup dengan pengampunan. Ia harus diwujudkan dalam keberanian negara untuk pulih dari kesalahan. Dan amnesti ini harus menjadi awal, bukan akhir.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق