Seorang notaris di Indonesia nyaris menghadapi tuntutan pidana setelah dituduh melegalkan tanda tangan palsu pada akta pendirian yayasan.
Kasus bermula saat klien menuduhnya memalsukan tanda tangan dan membuat keterangan palsu. Tuduhan itu mencakup pasal 263, 264, dan 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pihak pelapor menilai notaris lalai memverifikasi keabsahan tanda tangan. Padahal, legalisasi tanda tangan berarti turut menjamin kebenaran identitas penandatangan.
Proses berlanjut hingga sidang etik Mahkamah Kehormatan Notaris (MKN). Hasilnya, notaris dinyatakan tidak bersalah karena telah menjalankan prosedur sesuai prinsip hukum yang berlaku.
MKN menegaskan, kemiripan visual tanda tangan tidak cukup menjadi bukti. Dibutuhkan verifikasi ilmiah yang bisa diuji kebenarannya di pengadilan.
Pakar forensik menyarankan penggunaan metode analisis tanda tangan berbasis sains, teknologi akurat, dan laporan objektif yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dalam kasus kritis, peran pihak ketiga independen dinilai penting untuk memastikan hasil pemeriksaan tidak bias dan melindungi integritas profesi.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi notaris dan praktisi hukum untuk tidak mengandalkan keyakinan pribadi. Bukti ilmiah adalah tameng utama dari jerat hukum.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق