Koalisi Pembela Insan Musik Indonesia (KLASIKA) resmi menyerahkan kesimpulan sidang uji materi UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Jumat (15/08/2025).
Gugatan ini diajukan mewakili enam insan musik, termasuk band “Tikus Band”, yang menuntut penafsiran lebih adil atas Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta. untuk menghapus tafsir sempit soal izin membawakan lagu di ruang publik.
Menurut KLASIKA, aturan saat ini membuat musisi cafe dan resto rentan dilarang tampil atau ditagih royalti meski membawakan lagu populer.
Kuasa hukum KLASIKA, David Surya, menegaskan perjuangan ini bukan hanya untuk artis papan atas, melainkan ribuan musisi yang hidup dari panggung kecil.
“Banyak yang hanya dibayar Rp300 ribu per malam, bukan miliaran. Mereka bekerja dari cafe ke resto demi bertahan hidup,” ujarnya.
David juga mengungkapkan sidang ini menghadirkan suasana berbeda di MK, lebih santai dan manusiawi, bahkan membahas nilai gotong royong dalam hak cipta.
Marulam Juniasi Hutauruk, S.H, Konsultan Kekayaan intelektual menilai hak cipta memiliki fungsi sosial, bukan sekadar hak eksklusif ekonomi yang bersifat absolut.
Terpisah, Prof Ahmad Ramli mengingatkan, jangan sampai ada gerakan anti musik di ruang publik yang membatasi kebebasan berekspresi.
Musisi cafe seperti Tikus Band menegaskan, banyak karya tetap hidup justru karena dibawakan kembali, bukan hanya oleh pencipta aslinya.
“Kalau semua dilarang, musik Indonesia akan mati. Kami hanya ingin sistem yang adil,” ujar salah satu personel.
Sidang ini diharapkan melahirkan terobosan hukum agar musisi cafe dan resto tak lagi takut tampil membawakan lagu siapapun.
David optimistis MK akan memutus dengan bijak, memberikan kado kemerdekaan bagi dunia musik Indonesia.
“Bebaskan musik dari rasa takut. Ini bukan hanya soal kami, tapi hak seluruh rakyat menikmati seni,” pungkasnya.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق