Pernikahan bukan sekadar pesta mewah atau status baru di media sosial, melainkan komitmen jangka panjang yang menuntut tanggung jawab, terutama soal nafkah.
Banyak kasus rumah tangga hancur bukan karena perselingkuhan, melainkan karena pasangan kehilangan rasa aman finansial akibat suami menganggap nafkah hanya opsi, bukan kewajiban.
Begitu euforia pesta usai dan hormon cinta mereda, realita muncul: tagihan menumpuk, kontrakan harus dibayar, biaya sekolah anak menunggu.
Lebih menyakitkan ketika istri harus mengingatkan pria dewasa untuk berperan sebagai penyedia kebutuhan keluarga, sementara kulkas setengah kosong di depan mata.
Ahli hubungan menyebut, rasa aman adalah salah satu wujud kasih sayang terbesar seorang suami. Nafkah merupakan bagian penting dari rasa aman tersebut.
Jika seorang pria gagal memberi ketenangan finansial, ia bukan pasangan yang mampu membangun fondasi rumah tangga yang sehat dan sejahtera.
Wanita tidak melalui patah hati, kemiskinan, trauma, dan tekanan patriarki hanya untuk berbagi beban tagihan dengan pria yang minim kontribusi nyata.
Banyak wanita merasa “terlalu menuntut”, padahal yang diminta hanyalah hak dasar: keamanan finansial dari pasangan yang benar-benar bertanggung jawab.
Psikolog keluarga mengingatkan, menurunkan standar demi menyesuaikan dengan kemampuan minim pasangan berisiko menjerumuskan pada stres berkepanjangan.
Saatnya wanita berhenti menganggap hidup penuh tekanan sebagai “cukup” dan mulai membangun versi terbaik diri sendiri.
Langkah pertama adalah memilih pasangan yang memahami bahwa nafkah bukan hadiah, tetapi kewajiban moral, emosional, dan hukum dalam pernikahan.
Dengan begitu, pernikahan tidak sekadar bertahan, tetapi berkembang menjadi kemitraan yang saling mendukung di segala aspek kehidupan, termasuk finansial.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق