Kamboja, negara yang identik dengan wisata murah dan eksotis, ternyata menyimpan sisi gelap sebagai surga bagi sindikat kejahatan digital internasional.
Mereka memanfaatkan infrastruktur lemah dan aparat korup untuk menjalankan operasi penipuan lintas negara, mengeruk miliaran dolar setiap tahunnya dari korban di seluruh dunia.
Bukan hanya penipuan online, Kamboja juga menjadi titik transit perdagangan manusia. Korban direkrut, bahkan diculik, lalu dipaksa bekerja di pusat-pusat operasi scam.
Regulasi keuangan longgar membuat miliaran dolar hasil kejahatan mudah dicuci lewat properti, kasino, hingga bisnis palsu tanpa menimbulkan kecurigaan aparat setempat.
Teknologi AI deepfake kini menjadi senjata utama sindikat. Wajah dan suara palsu digunakan untuk membuat akun Facebook fiktif yang menyamar sebagai wanita demi memikat target.
Setelah korban terpancing, mereka diarahkan mengerjakan “pekerjaan tambahan” seperti menulis review di situs palsu, dibayar di awal untuk membangun kepercayaan.
Strategi umpan balik positif membuat korban merasa aman. Awalnya, setoran kecil dikembalikan agar korban yakin transaksi tersebut aman dan legal.
Begitu rasa percaya terbentuk, pelaku mendorong korban mengirim deposit besar hingga miliaran rupiah dengan dalih pajak, konversi mata uang, atau biaya verifikasi bank.
Hasil akhir mematikan: tabungan korban habis, utang menumpuk, bahkan sebagian memilih mengakhiri hidupnya. “Mereka ibarat iblis tanpa rasa kasihan,” ujar salah satu penyintas.
Sindikat memastikan target “diperas sampai kering” sebelum memutus semua komunikasi dan menghilang dari radar.
Jejak uang dicuci lewat rekening bisnis legal dan payment gateway resmi, membuat transaksi terlihat sah di mata hukum.
Dana dipindahkan melalui money mule ke luar negeri, lalu dikonversi menjadi cryptocurrency untuk menghapus jejak digitalnya sebelum kembali ke pelaku dalam bentuk “bersih.”
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق