Fenomena aneh terjadi di Bantul: lima pemain judi online ditangkap karena dituding merugikan bandar hingga Rp50 juta per bulan. Namun, yang jadi sorotan bukan bisnis ilegalnya, melainkan mereka yang eksploitasi promonya.
Para pelaku memanfaatkan sistem promo situs judi online dengan membuat banyak akun fiktif. Tiap akun dimainkan seolah pemain baru, lalu ditarik dan ditutup bila kalah. Pola ini berlangsung konsisten selama setahun.
Menurut polisi, omzetnya sekitar Rp50 juta per bulan, dengan gaji operator Rp1–1,5 juta per minggu. Jika dihitung, biaya operasional justru menekan keuntungan, mirip skema bakar duit ala start-up digital.
Ironinya, pemberitaan menempatkan para pelaku sebagai ancaman besar seolah menggoyang ekosistem “bisnis” penyedia permainan. Padahal, nilai kerugian yang disebutkan tak sebanding dengan perputaran uang triliunan di industri judol.
Analogi sederhananya: minimarket kehilangan dua dus mie instan, tapi narasinya seperti mau gulung tikar. Sementara sistem bandar tetap utuh, pihak luar justru dikorbankan demi dramatisasi penegakan hukum.
Yang menggelitik adalah kepastian data kerugian bandar. Angka yang rinci ini biasanya hanya diketahui oleh operator sistem internal. Jika bukan dari dalam, dari mana data itu muncul?
Sayangnya, berita tak menyebut identitas atau keberadaan bandar. Sebaliknya, aparat fokus pada pelaku pinggiran yang justru membuka celah kelemahan sistem ilegal tersebut.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik: apakah hukum hanya tajam ke bawah? Penjudol ditangkap, bandarnya tetap aman. Ironi ini menggambarkan wajah buram penindakan di era digital.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق