Duta Nusantara Merdeka | Jakarta - Pernahkah Anda melihat seseorang tiba-tiba meninggalkan pesta, rapat, atau keramaian, lalu memilih menyendiri? Perilaku ini sering disalahartikan, padahal ada dasar ilmiah mendalam.
Keputusan pergi bukan sekadar menghindar, melainkan mekanisme biologis dan psikologis. Tubuh serta otak bekerja sama melindungi diri dari tekanan berlebihan yang tidak tertahankan.
Saat stres meningkat, sistem saraf simpatik aktif, memicu hormon kortisol dan adrenalin. Keramaian, suara bising, serta cahaya terang memperkuat stresor, membuat otak mengirim sinyal untuk segera “keluar”.
Neurobiologi menjelaskan amygdala bekerja lebih keras dalam situasi yang dianggap mengancam. Inilah sebabnya individu rentan mengalami lonjakan emosi ketika berada di tengah keramaian.
Keramaian juga memicu overload sensorik. Otak kesulitan menyaring suara, gerakan, dan percakapan. Akibatnya, stimulus kecil terasa sangat intens, membuat tubuh merasa kewalahan.
Menyendiri memberi ruang regulasi emosi. Prefrontal cortex mendapat kesempatan menenangkan aktivitas amygdala, sehingga emosi lebih stabil dan tekanan psikis berkurang signifikan.
Namun, menjauh kadang termasuk avoidant coping. Strategi ini memang menenangkan sementara, tetapi bila berulang bisa meningkatkan risiko gangguan kecemasan atau depresi.
Selain itu, teori Self-Determination menekankan kebutuhan otonomi psikologis. Meninggalkan keramaian jadi cara otak memenuhi kontrol diri dalam mengatur pemulihan mental.
Ketenangan juga memulihkan energi kognitif melalui mekanisme attention restoration. Lingkungan sepi atau alam terbuka menurunkan aktivitas saraf simpatis dan meningkatkan kesejahteraan emosional.
Kesimpulannya, pergi dari keramaian saat tertekan bukan kelemahan. Itu respon adaptif otak dan tubuh demi menjaga keseimbangan emosi serta kesehatan mental individu.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق