Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya menggelar Diskusi Publik bertajuk "Urgensi Pendidikan Lanjutan Kebijakan Publik di Indonesia" di Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Diskusi ini membahas urgensi pendidikan lanjutan kebijakan publik sebagai solusi tantangan pembangunan nasional. Forum ini mempertemukan akademisi, pembuat kebijakan, peneliti, dan praktisi pembangunan.
Agenda tersebut membahas kondisi ekosistem kebijakan publik Indonesia, termasuk rendahnya kualitas perumusan kebijakan, keterbatasan analis, serta minimnya riset yang terhubung langsung ke proses pengambilan keputusan strategis.
LAN menegaskan masih terjadi ketimpangan kapasitas perumus kebijakan di pusat dan daerah. Banyak kebijakan belum berbasis data, serta ratusan analis kebijakan tidak ditempatkan pada posisi strategis pemerintah.
Rasio mahasiswa per dosen di perguruan tinggi publik mencapai 57:1, jauh dari standar OECD 14,5:1. Kondisi ini dikhawatirkan menurunkan kualitas lulusan dan kesiapan menghadapi tantangan kebijakan modern.
CEO Think Policy, Andhyta Firselly Utami, menyampaikan realitas sulitnya mendorong reformasi kebijakan di Indonesia, karena minimnya dialog publik, lemahnya literasi kebijakan, dan rendahnya partisipasi masyarakat.
Menurutnya, kebijakan publik memiliki dampak sosial jauh lebih besar daripada donasi individual. APBN, tata kelola sosial, dan keputusan negara dapat menyentuh jutaan warga dalam satu kebijakan.
LAN melalui Politeknik STIA LAN menyiapkan "learning continuum", jembatan dari teori menuju praktik kebijakan, melahirkan lulusan siap terjun dalam proses kebijakan end-to-end.
Selain pendidikan tinggi terapan, LAN juga menyelenggarakan Pelatihan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan, untuk memperkuat kompetensi ASN dalam menganalisis, merumuskan, dan mengevaluasi kebijakan berbasis bukti.
Dr. Muhammad Taufiq dari LAN menyebutkan Indonesia membutuhkan profesional kebijakan lebih banyak. Hasil survei 2025 menunjukkan masih 39 persen kebijakan tidak berbasis data memadai.
Menurutnya, pengembangan kebijakan publik bukan hanya persoalan pemerintah, tetapi kolaborasi kampus, birokrasi, sektor swasta, dan masyarakat sipil agar keputusan negara tepat sasaran.
Para peserta forum sepakat bahwa sinergi akademisi dan pemerintah harus diperkuat, membuka ruang dialog, laboratorium kebijakan, hingga riset kolaboratif agar inovasi kebijakan bisa diterapkan nyata.
Forum ditutup dengan seruan memperluas akses pendidikan kebijakan publik, memperbanyak analis profesional, dan mendorong budaya pengambilan keputusan berbasis bukti sejak jenjang pendidikan tinggi.
Diskusi tersebut menegaskan Indonesia butuh reformasi pendidikan kebijakan publik. Harapannya, keputusan negara menjadi lebih adil, efektif, dan berpihak kepada masyarakat.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto










ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق