Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh sistem antrean haji yang dinilai tidak adil dan tidak adaptif terhadap kebutuhan calon jamaah. Sistem antrean ibadah haji di Indonesia kini mencapai 30 hingga 40 tahun di sejumlah daerah, menimbulkan keresahan dan ketidakpastian bagi konsumen.
Ketua BPKN RI, M. Mufti Mubarok, menegaskan bahwa dalam konteks ibadah haji, calon jamaah adalah konsumen layanan publik yang memiliki hak atas informasi, kepastian layanan, dan perlakuan adil. Menurutnya, sistem yang ada saat ini telah melanggar prinsip dasar perlindungan konsumen, serta mencerminkan lemahnya adaptasi terhadap perubahan demografi dan alokasi kuota haji nasional.
BPKN RI pun mengajukan lima langkah strategis kepada pemerintah, terutama Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Penyelenggara Haji (BPH), agar segera ditindaklanjuti demi perbaikan. Langkah pertama adalah audit sistem antrean haji secara komprehensif, termasuk meninjau pendaftaran, distribusi kuota, dan skema prioritas berdasarkan usia maupun kondisi fisik.
Langkah kedua, BPKN menekankan pentingnya inovasi digital dalam pengelolaan antrean haji. Sistem antrean berbasis data real-time harus diterapkan menyeluruh, transparan, dan mudah diakses publik. Sistem informasi haji ini dapat mencegah manipulasi dan menjamin kejelasan posisi antrean setiap jamaah secara terbuka.
Ketiga, BPKN mendorong penambahan kuota haji melalui jalur diplomatik. Pemerintah diharapkan lebih aktif bernegosiasi dengan Kerajaan Arab Saudi untuk penambahan kuota secara sah. Proses ini harus dilaporkan secara transparan kepada publik untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah.
Keempat, BPKN menyoroti pentingnya pemetaan kebutuhan jamaah berdasarkan wilayah dan usia. Misalnya, diperlukan alokasi kuota khusus bagi lansia, masyarakat dari daerah tertinggal, dan skema khusus bagi yang memilih jalur non-reguler dengan asas keadilan.
Langkah kelima adalah pelibatan konsumen dalam kebijakan haji. BPKN menilai penting dibukanya ruang partisipatif bagi publik dalam merumuskan kebijakan penyelenggaraan haji, sehingga aspirasi calon jamaah dapat menjadi bagian dari solusi jangka panjang.
Mufti Mubarok menegaskan bahwa perlindungan konsumen adalah amanat konstitusi, dan dalam konteks haji, negara harus hadir menjamin layanan yang adil, transparan, dan bermartabat. BPKN RI menyatakan kesiapannya untuk bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan demi memastikan sistem antrean haji lebih adaptif dan pro-konsumen ke depan.
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق