Indonesia memiliki potensi perikanan besar, namun dihadapkan pada krisis akibat penggunaan trawl dan alat tangkap ikan yang merusak lingkungan.
Alat tangkap seperti trawl diketahui merusak terumbu karang, menghancurkan habitat dasar laut, dan menghasilkan bycatch yang tinggi.
Kondisi ini berdampak langsung pada menurunnya stok ikan serta keseimbangan ekosistem laut Indonesia yang semakin rapuh.
Untuk itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menggelar diskusi publik edisi Juli untuk menjawab isu ini secara konkret dan menyeluruh.
Diskusi bertema “Menjaga Kedaulatan Pangan Laut dari Ancaman Trawl dan Penangkapan Ikan yang Merusak” digelar di Jakarta, Jumat, 11 Juli 2025.
Kegiatan mencakup tiga agenda utama: diseminasi riset, bedah film dokumenter Invasi Trawl, dan diskusi partisipatif bersama komunitas nelayan.
Miftahul Khausar, Pengurus Pusat KNTI, mengungkap riset ini mencerminkan fakta peningkatan kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir dalam 10 tahun terakhir.
Menurutnya, alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti trawl menjadi penyebab utama degradasi ekonomi dan sosial nelayan tradisional.
Fenomena konflik nelayan kecil dengan kapal industri besar, serta sesama nelayan lokal yang gunakan alat modifikasi seperti mini-con, menguat di banyak wilayah.
KNTI merekam persoalan ini melalui riset di tiga daerah: Gresik, Labuhanbatu Utara, dan Kotabaru, yang memiliki karakteristik geografis dan sosial berbeda.
Dalam penelitian ini, tim menggunakan metode analisis data dan diskusi kelompok terfokus untuk mendalami dampak sosial ekonomi dan kerusakan ekologi.
Perwakilan akademisi, praktisi alat tangkap, dan organisasi nelayan dihadirkan untuk memperkuat narasi dari hasil riset tersebut.
Pemerintah sebenarnya sudah melarang trawl sejak 1980 melalui Keppres No. 39/1980, lalu diperkuat dengan Permen KP No. 2 Tahun 2015.
Namun, revisi kebijakan terbaru melalui Permen KP No. 36 Tahun 2023 justru membuka celah legalisasi trawl versi modifikasi.
Kondisi ini menimbulkan kebingungan hukum, dan pelaku perikanan destruktif dengan mudah mengeksploitasi celah regulasi tersebut.
Di banyak wilayah, Miftahul menyebut, trawl menyebabkan kerusakan habitat ikan demersal, merusak terumbu karang, dan menimbulkan bycatch besar yang merugikan stok ikan.
Zonasi laut yang tidak diawasi secara ketat membuat konflik horizontal antar nelayan terus meningkat, memperparah krisis ekologi dan sosial.
Di Kotabaru, penggunaan mini trawl dan jaring dogol telah merusak ekosistem perairan dangkal yang menjadi sumber utama kehidupan nelayan lokal.
Akibatnya, nilai tukar nelayan (NTN) turun drastis, biaya operasional meningkat, sementara hasil tangkapan terus menurun signifikan.
KNTI menyerukan revisi kebijakan secara menyeluruh, peningkatan pengawasan laut, dan keterlibatan aktif masyarakat pesisir dalam perumusan regulasi.
Solusi konkret yang diajukan termasuk transisi ke alat tangkap ramah lingkungan, edukasi hukum perikanan, dan pemberdayaan ekonomi nelayan tradisional.
"Jika tidak segera diatasi, ancaman trawl akan memperdalam krisis pangan laut, mempercepat kerusakan lingkungan, dan memperlemah kedaulatan bangsa atas laut," pungkasnya.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق