Tahun 2013, sebuah gerai kecil di Bandung lahir dengan nama unik: Nasi Goreng Mafia. Timnya hanya tujuh orang.
Namun dalam tiga tahun, brand ini meledak. Mereka berekspansi ke 60 lokasi di 15 kota. Omzet? Ratusan juta per bulan.
Menu dengan nama-nama "preman" dan branding nyentrik jadi daya tarik. Konsepnya pedas, berani, dan beda.
Tapi setelah viral, suara mereka perlahan meredup. Sekarang, keberadaannya nyaris tak terdengar.
Masalahnya bukan di rasa pertama, tapi di rasa kedua. Mereka gagal menciptakan pengalaman yang bisa diulang dan dikenang.
USP mereka jelas: branding kuat dan racikan rempah khas. Tapi USP hanya pintu gerbang, bukan ruang tamu yang bikin betah.
Nasi Goreng Mafia lupa membangun staying proposition—alasan kenapa orang mau datang lagi, bukan cuma coba sekali.
Ekspansi mereka tergesa. Outlet bermunculan, tapi tanpa fondasi rasa dan pengalaman pelanggan yang konsisten.
Kualitas tiap cabang berbeda. Identitas brand mulai kabur. Yang dulu jadi keunikan, kini jadi beban operasional.
Dalam teori bisnis, staying proposition melibatkan tiga hal: koneksi emosional, pengalaman konsisten, dan identitas yang hidup.
Nasi Goreng Mafia punya modal, tapi lupa memperkuat akar. Mereka lebih fokus tumbuh tinggi, tanpa memastikan pijakan cukup dalam.
Pelajaran terpenting? Viral bukan jaminan langgeng. Branding bukan cuma soal logo dan slogan, tapi rasa ingin kembali.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق