Revisi KUHAP dinilai mendesak untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang adil, adaptif, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, seiring dengan dinamika hukum dan sosial yang terus berkembang.
Akademisi Hukum Universitas Trisakti, Dr. Azmi Syahputra, menyoroti stagnasi reformasi hukum acara pidana. Ia menilai pembaruan KUHAP harus menyentuh akar permasalahan, bukan sekadar perombakan prosedural semu.
"Selama ini sistem hukum hanya berkutat pada norma, tanpa menyentuh substansi keadilan," kata Azmi dalam seminar nasional bertajuk “Langkah Strategis Menuju Kedaulatan Hukum Nasional” yang digelar Yerikho Manurung & Partners bersama Indonesia Millennials Center di Jakarta, Rabu (30/07/2025).
Padahal, hukum acara pidana tidak bisa berdiri sendiri tanpa keterkaitan dengan hukum pidana materil.
KUHAP versi baru akan mengalami perluasan pasal dari 286 menjadi 334 pasal. Hal ini menandakan adanya kebaruan, tapi tetap harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan prinsip due process of law.
Salah satu poin penting dalam RKUHAP adalah peran aktif advokat. Kini, pengacara berhak mengajukan keberatan sejak tahap pemeriksaan dan keberatan itu harus dituangkan dalam berita acara resmi.
Azmi menyebutkan, kemajuan teknologi semestinya mendorong pembaruan hukum. Misalnya, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dapat dikirim melalui media digital seperti WhatsApp secara sah.
Ia menilai aparat penegak hukum harus mampu beradaptasi, termasuk mempercepat sinkronisasi antara jaksa, polisi, dan pengacara demi menjamin hak tersangka, saksi, maupun korban.
Di sisi lain, Azmi menyinggung lemahnya pengawasan dalam praktik penyidikan dan penahanan. Menurutnya, banyak pelanggaran terjadi karena minimnya mekanisme kontrol dan belum transparannya proses penetapan tersangka.
Kritik juga diarahkan pada penyadapan ilegal yang sering disamarkan atas nama penegakan hukum. Ia menegaskan pentingnya izin tertulis dari pengadilan sebagai bentuk perlindungan hak privat warga.
Lebih lanjut, Azmi mengingatkan bahwa sistem peradilan yang sehat hanya bisa terwujud jika semua elemen—baik akademisi, aparat, maupun masyarakat—mau jujur membaca akar persoalan hukum secara menyeluruh.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق