Nilai ekonomi hutan Morowali mencapai Rp 2,81 triliun per tahun, namun lebih dari sepertiganya terancam hilang akibat perluasan tambang nikel yang menggerus kawasan hutan primer dan keanekaragaman hayati.
Laporan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menunjukkan valuasi ekonomi hutan Morowali melebihi pendapatan daerahnya sendiri. Ini menggambarkan pentingnya hutan sebagai modal alam yang belum sepenuhnya dihitung.
Nilai ekonomi total (Total Economic Value/TEV) Morowali mencapai Rp 2,81 triliun per tahun. Sebanyak Rp 1,07 triliun di antaranya berada di area konsesi tambang nikel dan berisiko hilang akibat deforestasi.
Laporan ini menggunakan pendekatan valuasi ekosistem hutan berdasarkan Permen LHK No. 15 Tahun 2012. Penilaian ekonomi dilakukan dengan metode pasar dan biaya pengganti, serta overlay spasial menggunakan Arcgis.
Morowali adalah episentrum industri nikel di Sulawesi Tengah dengan keberadaan IMIP dan IHIP. Namun, pertumbuhan industri mengancam kelestarian hutan, karbon, dan fungsi ekologis jangka panjang.
"Ekspansi industri nikel tanpa regulasi ketat akan berujung pada kerugian ekologis dan ekonomi yang lebih besar dari manfaat jangka pendeknya," kata Peneliti AEER, Risky Saputra, dalam peluncuran laporan di Jakarta, Selasa (29/07/2025).
Laporan ini dirilis menjelang penyusunan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia untuk COP 30, yang memuat target FoLU Net-Sink 2030 dalam komitmen iklim nasional.
Hutan Morowali menyerap lebih dari 1,1 juta ton CO₂e per tahun, menjadikannya elemen vital dalam mitigasi emisi karbon nasional. Namun, 6.110 hektare hutan telah hilang akibat tambang.
Sebanyak 35% wilayah Morowali kini dikonversi menjadi konsesi tambang. Sebagian besar—97.790 hektare—berada di hutan primer yang seharusnya dilindungi.
Meity Ferdiana Pakual dari Universitas Tadulako mendorong moratorium izin baru di hutan primer dan evaluasi total terhadap izin lama berdasarkan nilai keanekaragaman hayati.
AEER juga mencatat pentingnya perlindungan spesies endemik seperti Maleo, Rangkong Sulawesi, dan Monyet Butung yang hidup eksklusif di Morowali.
Senada, Guru Besar IPB, Akhmad Fauzi, mengingatkan bahwa hutan harus dilihat sebagai natural capital, bukan sekadar komoditas eksploitasi, agar tidak mengalami depresiasi ekologis.
Bappeda Sulawesi Tengah menyatakan laporan AEER akan dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan RPJMD 2025–2029 untuk menyelaraskan pembangunan dan perlindungan ekosistem.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق