Meski kerap tampil dengan gaya komunikasi ngegas, ceplas-ceplos, bahkan frontal, dr. Tirta justru berhasil mendapatkan simpati luas dari masyarakat Indonesia.
Kuncinya ada pada kemampuannya membaca situasi. Di forum serius, ia tenang dan berbobot, sementara di podcast santai, ia tampil lawak dan menghibur.
Hal ini sejalan dengan Communication Accommodation Theory yang menekankan pentingnya menyesuaikan gaya bicara dengan konteks agar audiens merasa lebih dekat.
Meski keras, isi pernyataan dr. Tirta tetap berbasis data dan pengetahuan. Ia tidak asal bicara, melainkan mengandalkan kredibilitas sebagai tenaga medis.
Konsep ini sesuai dengan Ethos Aristoteles, di mana kekuatan pesan terletak pada reputasi pembicara. Audiens mendengarkan bukan karena gaya, tetapi karena isinya.
Lebih jauh, dr. Tirta menekankan pentingnya rendah hati. Ia mengaku banyak anak muda lebih hebat darinya, selaras dengan prinsip Servant Leadership.
Selain itu, humor menjadi senjata ampuh. Lewat kalimat sederhana, ia mampu mencairkan suasana, sesuai Relief Theory Freud yang menyebut humor melepas ketegangan.
Dr. Tirta juga aktif mendengarkan lawan bicara. Konsep Active Listening membuat interaksi terasa dua arah, membangun rasa dihargai dan memperkuat kepercayaan.
Tak kalah penting, ia menolak gimmick dan tetap otentik. Konsistensi komunikasi jujur memperkuat trust, membuat audiens lebih respek pada dirinya.
Dengan kombinasi blak-blakan, humor cerdas, kerendahan hati, dan otentisitas, dr. Tirta membuktikan bahwa komunikasi efektif tak harus selalu manis, tetapi harus tulus.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar