Bawaslu Kota Tangerang Selatan menggelar forum penguatan kelembagaan bertema penataan kembali peraturan dan pengawasan tahapan pemilu guna mendorong sinergi antar-kompartemen kelembagaan di Tangerang, Selasa (23/09).
Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari pegiat pemilu hingga akademisi, termasuk Titi Anggraini, pengajar Hukum Tata Negara FHUI sekaligus Pembina Perludem. Ia menyoroti evaluasi pengawasan serta penegakan hukum Pemilu 2024.
Titi menekankan, pemilu tanpa pengawasan lembaga independen mengancam prinsip luber dan jurdil. Hal ini sesuai putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 yang menggarisbawahi pentingnya peran pengawas pemilu.
Isu pencalonan menjadi sorotan utama. Menurut Titi, masih banyak persoalan keterwakilan perempuan yang didistorsi aturan, serta problem transparansi rekam jejak calon anggota legislatif, termasuk riwayat pendidikan.
Ia menilai publik berhak mendapatkan akses terhadap latar belakang calon, sehingga selektif disclosure perlu diterapkan. Mekanisme ini memungkinkan perlindungan informasi sensitif tanpa mengorbankan keterbukaan.
Selain pencalonan, isu ajudikasi juga mencuat. Data menunjukkan lonjakan signifikan perkara perselisihan hasil pemilu di MK, dari 13 kasus pada 2019 menjadi 44 perkara pada 2024.
Kasus PSU di Gorontalo hingga Tarakan menjadi bukti adanya kelemahan regulasi. Persoalan ini berimplikasi pada keadilan pemilu serta kualitas representasi politik di parlemen.
Titi juga menyoroti putusan MK terbaru yang membagi pemilu nasional dan daerah. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi memperpendek masa kerja efektif penyelenggara pemilu, hanya sekitar dua tahun.
Meski begitu, ia menilai ada urgensi menyusun aturan lebih tegas soal netralitas pejabat negara, termasuk presiden sebagai simbol sekaligus kepala pemerintahan. Netralitas menjadi pilar utama integritas demokrasi.
Diskusi juga menyentuh persoalan akses data pemilu. Titi menekankan perlunya integrasi database SKCK dan catatan hukum agar tidak tumpang tindih, sekaligus memastikan perlindungan data pribadi.
Ia menegaskan, Bawaslu dan KPU harus dipandang sebagai satu kesatuan fungsi, bukan entitas terpisah. Keterbukaan data harus diiringi tanggung jawab menjaga kerahasiaan informasi warga.
Pada akhirnya, penguatan kelembagaan pemilu harus fokus pada dua hal: keterbukaan informasi publik dan keadilan elektoral. Tanpa itu, demokrasi berisiko kehilangan legitimasi.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar