Cerai bukan akhir segalanya. Setidaknya, begitu cara Gading Marten menenun ulang kisah cintanya yang kandas.
Di tengah gemuruh perpisahan, Gading tak mengangkat suara. Ia memilih tenang, memeluk luka dalam diam yang maskulin.
“Jangan salahkan istri gue, salahkan gue,” ujarnya jujur. Kalimat itu bukan sekadar tanggung jawab, melainkan penghormatan.
Penghormatan pada wanita yang dulu ia cinta, pada ibu dari buah hatinya, pada rumah yang pernah ia bangun.
Di era publik berlomba membuka aib, Gading mengambil jalan sunyi. Ia tak mendramatisasi, tak menggugat masa lalu.
Karena, baginya, menjadi lelaki bukan soal mempertahankan pernikahan. Tapi soal tidak mempermalukan orang yang pernah kamu cintai.
Putrinya, Gempita Nora Marten, adalah alasan ia menjaga ketenangan itu. Ia ingin anaknya tumbuh di ruang yang damai, tanpa sisa luka.
Ia tidak membakar jembatan. Karena, siapa tahu, suatu hari anaknya perlu melintasi kenangan itu dengan tenang.
Tak banyak publik figur pria yang berani bersikap demikian: diam bukan karena kalah, melainkan karena menang atas ego.
Gading gagal jadi suami, katanya. Tapi ia tak gagal jadi ayah. Tak gagal jadi manusia.
Inilah bentuk cinta paling jantan: menjaga nama orang yang sudah pergi. Karena ia tetap bagian dari cerita yang utuh.
Dan cinta sejati, memang tak diukur dari lamanya bersama, tapi dari seberapa tulus menjaga yang pernah kamu cinta.
Bukan untuk kembali, tapi agar tak ada yang patah lebih dari yang sudah retak.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar