Lukisan mahal bukan hanya simbol seni dan prestise, tapi juga strategi rahasia untuk sembunyikan kekayaan bagi para konglomerat dunia. Mereka memanfaatkan celah hukum seni dan pajak secara cerdik.
Nilai lukisan bisa dimanipulasi lewat persepsi kurator, latar belakang pelukis, atau narasi pasar. Hal ini menjadikan karya seni ideal sebagai alat pencucian uang maupun pemindahan aset tanpa jejak.
Contohnya, satu lukisan bisa dibeli seharga USD 2 juta lalu dijual kembali USD 4 juta. Lonjakan nilai itu tidak mudah dibuktikan karena pasar seni bersifat privat dan subjektif.
Tak sedikit pula yang membeli lukisan memakai uang dari sumber ilegal. Setelah "disulap" jadi aset sah, lukisan tersebut dijual kembali dengan narasi untung legal.
Swiss jadi pilihan utama penyimpanan aset seni. Negara netral sejak 1815 ini dikenal menjaga kerahasiaan klien, stabil secara politik, dan punya sistem hukum yang melindungi privasi.
Di Swiss terdapat konsep zona transit, di mana barang seni dianggap hanya "melewati" wilayah hukum negara. Artinya, tidak dikenai pajak masuk, VAT, atau pajak warisan.
Selama masih berada di zona ini, lukisan bisa dijual-beli hanya lewat dokumen, tanpa berpindah tempat. Ini membuka celah transaksi besar tanpa kewajiban fiskal.
Salah satu lokasi penyimpanan paling populer adalah Geneva Freeport, gudang karya seni terbesar di dunia. Menyimpan lebih dari 1,2 juta lukisan, nilainya ditaksir melampaui USD 100 miliar.
Kerahasiaan di Geneva Freeport sangat ketat. Pemilik aset hanya diidentifikasi lewat kode akun, bukan nama asli. Bahkan staf gudang pun tak tahu siapa pemilik lukisan.
Swiss bukan satu-satunya surga finansial. Negara seperti Singapura, Luxembourg, dan Cayman Islands juga digunakan untuk strategi serupa, baik lewat emas, rekening anonim, atau kepemilikan perusahaan boneka.
Bagi elite global, menyimpan lukisan bukan hanya soal uang. Itu tentang status sosial, pengaruh, dan kemampuan bersembunyi dari radar pajak dunia.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar