Artificial Intelligence, termasuk ChatGPT, kini jadi alat favorit banyak orang. Namun, riset terbaru justru mengungkap risiko mengejutkan.
Podcast populer The Diary of a CEO bersama Steven Bartlett mengupas bahaya tersembunyi AI. Riset Harvard dan MIT mendapati produktivitas meningkat, tetapi motivasi pribadi malah menurun.
Harvard Business Review mencatat, AI membuat pekerjaan lebih cepat dan efisien. Sayangnya, motivasi personal pekerja menurun hingga 11 persen, dan rasa bosan meningkat signifikan.
Studi lanjutan dari MIT melibatkan 54 partisipan. Dibandingkan menulis manual, aktivitas otak jauh lebih rendah saat menggunakan ChatGPT untuk menyusun esai.
Analisis EEG menunjukkan otak lebih sibuk ketika menulis tanpa bantuan. Sedangkan aktivitas otak paling rendah terlihat saat peserta mengandalkan ChatGPT penuh.
Fenomena ini memicu kekhawatiran pakar saraf. Dokter Daniel Amen memperingatkan, terlalu bergantung pada AI bisa menurunkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pembelajaran jangka panjang.
Risiko semakin besar pada anak dan remaja. Otak mereka masih berkembang, sehingga penggunaan AI berlebihan dapat menghambat fungsi prefrontal cortex yang mengatur logika.
Pakar menyarankan tiga langkah bijak. Pertama, gunakan AI untuk memperkuat pemikiran, bukan menggantikan. Kedua, diskusikan hasil AI, jangan ditelan mentah-mentah.
Ketiga, manfaatkan AI sebagai penguji daya ingat atau lawan debat intelektual. Dengan begitu, AI bisa jadi mitra belajar, bukan sekadar mesin jawaban.
Untuk menjaga otak tetap tajam, pakar juga menekankan pentingnya olahraga, tidur cukup, optimisme, pembelajaran sepanjang hayat, serta asupan omega-3.
Pertanyaan reflektif selalu perlu diajukan: apakah penggunaan AI baik atau buruk bagi otak kita dalam jangka panjang?
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar