Bitcoin kini digambarkan sebagai Cyber Manhattan, properti digital paling premium yang hanya tersedia 21 juta unit selamanya.
Layaknya Manhattan di dunia nyata, kelangkaan menjadi faktor utama. Lahan Manhattan terbatas, harganya terus naik sejak masa Dutch Guilder hingga dolar Amerika.
Begitu pula Bitcoin. Tidak ada bank sentral atau pemerintah yang bisa mencetak lebih banyak unit. Kelangkaan absolut inilah yang membedakannya dari aset lainnya.
Bitcoin berbeda dari ribuan kripto lain. Ethereum, Solana, atau aset digital lain layaknya saham perusahaan dengan founder, tim, hingga risiko bangkrut sewaktu-waktu.
Sebaliknya, Bitcoin mirip properti langka. Tidak ada CEO, tidak ada kompetitor. Hanya "tanah digital" yang bisa dimiliki, tak tergantikan oleh instrumen lain.
Awalnya Bitcoin hanya dilirik para geek. Namun kini, kompetisinya bergeser. Negara, institusi raksasa, dan konglomerat mulai memborong "kavling digital" ini.
Amerika Serikat melalui ETF BlackRock, Bhutan hingga Argentina menjadikannya cadangan aset. Bahkan konglomerat Indonesia memiliki tambang Bitcoin terbesar dunia.
Dengan masuknya pemain besar, persaingan investor ritel makin berat. Harga masuk ke Cyber Manhattan digital ini terus naik seiring permintaan global.
Di sisi lain, prediksi masa depan juga menambah urgensi. Robot akan mengambil alih banyak pekerjaan dalam satu dekade mendatang.
Di dunia di mana pendapatan kerja makin tidak pasti, memiliki aset langka seperti Bitcoin menjadi strategi bertahan hidup, bukan sekadar pilihan investasi.
Pertanyaan pun sederhana: maukah Anda memiliki "satu unit kavling digital" ini sekarang, atau hanya menjadi penonton ketika negara dan korporasi merebutnya?
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar