Apakah data nasabah bank benar-benar bisa dibuka aparat hukum? Pertanyaan ini kembali ramai dibahas pada Kamis, 21 Agustus 2025, setelah muncul kasus pencucian uang.
Menurut Teguh Arifiyadi, Direktur Pengawasan Sertifikasi dan Transaksi Elektronik Kemenkominfo sekaligus tim perumus UU PDP, rahasia bank memang tidak berlaku mutlak.
Teguh menegaskan, bank sebagai pengendali data memiliki kewajiban melindungi informasi pribadi, namun bisa dikecualikan bila menyangkut penyidikan, terutama kasus pidana pencucian uang.
Ia menambahkan, ketika status seseorang sudah menjadi tersangka atau terdakwa, aparat hukum berhak mengakses data nasabah untuk kepentingan pembuktian hukum di pengadilan.
Senada dengan Teguh, Yunus Husein, mantan Kepala PPATK, menyebut kepentingan umum harus didahulukan dibanding kerahasiaan individu, khususnya untuk mendukung proses penegakan hukum.
Dasar hukumnya tercantum jelas pada Pasal 20 ayat 2 huruf C Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Nomor 27 Tahun 2022.
Pasal tersebut menegaskan pemrosesan data pribadi dapat dilakukan untuk memenuhi kewajiban hukum, termasuk kebutuhan aparat penegak hukum dalam penyidikan kasus pidana.
Selain itu, Pasal 50 UU PDP juga memberi pengecualian kewajiban pengendali data pribadi demi kepentingan hukum, pertahanan, hingga pengawasan sektor jasa keuangan.
Ketentuan lain muncul pada Pasal 72 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang mempertegas hak penyidik meminta keterangan nasabah.
Dalam pasal tersebut, penyidik, penuntut umum, maupun hakim berwenang meminta data harta kekayaan tersangka, tanpa terikat ketentuan rahasia bank.
Pasal 40 dan Pasal 42 UU Perbankan juga memberi ruang hukum, di mana izin Bank Indonesia memungkinkan aparat hukum memperoleh data simpanan nasabah tersangka.
Dengan demikian, meskipun rahasia bank wajib dijaga, pengecualian berlaku demi kepentingan hukum. Artinya, perlindungan data pribadi tidak absolut bila terkait pidana berat.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar