Nama Hercules Rosario Marshall pernah menggema sebagai legenda jalanan. Namun, bagi ilmuwan sosial seperti Ian Douglas Wilson, Hercules bukan sekadar sosok kontroversial. Ia adalah simbol dari absennya negara—sebuah fenomena yang terus tumbuh dalam demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru.
Dalam buku Politik Jatah Preman, Wilson menggambarkan Hercules bukan sebagai anomali, tetapi manifestasi dari struktur kekuasaan informal yang mengisi ruang kosong yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Negara yang absen, hukum yang lemah, dan ketidakpastian keamanan sosial menciptakan ruang subur bagi makelar kekerasan.
Absennya Negara, Tumbuhnya Premanisme
Premanisme bukan sekadar cerita kriminalitas. Ia adalah sistem kekuasaan alternatif yang tumbuh ketika otoritas formal gagal melindungi rakyat. Di tempat-tempat di mana keadilan tak hadir, dan hukum tak ditegakkan, orang seperti Hercules hadir sebagai solusi alternatif, meski penuh ironi.
Kekuasaan informal, kata Wilson, adalah bentuk coercive capital atau modal koersif yang dijalankan oleh aktor-aktor non-negara untuk memperoleh pengaruh, sumber daya, dan legitimasi sosial. Ini bukan kekerasan semata, melainkan permainan rumit antara ketakutan, loyalitas, dan kekosongan hukum.
Makelar Kekerasan dalam Demokrasi Pincang
Dalam kasus Hercules, kita melihat bagaimana seorang mantan preman bisa bersalin rupa menjadi "mitra lingkungan", "relawan ormas", atau bahkan tokoh politik. Perubahan wujud ini tidak menghapus esensi kekuasaan informal yang ia bawa: kekuatan yang lahir bukan dari hukum, tetapi dari reputasi.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di lorong-lorong pasar atau jalanan. Wilson mencatat bahwa makelar kekerasan kini bahkan masuk ke ruang-ruang formal: perkantoran, pertemuan bisnis, hingga arena politik. Preman hari ini tak harus membawa senjata tajam—cukup membawa proposal, surat resmi, atau foto bersama politisi.
Studi Kasus: BYD dan “Mitra Lingkungan”
Contoh mutakhir adalah kisah perusahaan otomotif asal Tiongkok, BYD, yang didatangi oleh sekelompok orang mengaku sebagai “mitra lingkungan.” Mereka tak membawa ancaman terbuka, namun membawa bahasa samar seputar keamanan, harmoni, dan ketertiban.
Di balik kata-kata tersebut, tersimpan praktik lama: permintaan “jatah” atau kontribusi tidak resmi sebagai “biaya perlindungan.” Inilah invisible coercion—paksaan tak terlihat yang sering dibungkus dengan istilah modern.
Mengapa Premanisme Tak Pernah Mati?
Premanisme bertahan karena negara tak kunjung hadir secara menyeluruh. Ketika hukum tidak menyentuh masyarakat akar rumput, ketika keadilan hanya menjadi narasi elitis, maka kekuasaan informal menjadi alternatif.
Kekuasaan informal tumbuh dari logika kelangsungan hidup. Bagi banyak pelaku usaha kecil, pengusaha lokal, bahkan perusahaan multinasional, membayar jatah adalah cara tercepat untuk menghindari konflik. Maka preman berubah dari ancaman menjadi “mitra strategis”—sebuah pergeseran yang menunjukkan kegagalan negara dalam menata otoritasnya.
Preman: Musuh atau Mitra Negara?
Wilson menekankan bahwa dalam banyak kasus, kekuasaan informal tidak selalu menjadi lawan negara. Bahkan, tak jarang preman menjadi mitra elite untuk menjalankan fungsi-fungsi yang tidak bisa dilakukan secara sah.
Inilah yang disebut Wilson sebagai “demokrasi bayangan”—sistem di mana aktor non-negara memiliki peran signifikan dalam penegakan hukum, keamanan, dan bahkan pengambilan keputusan politik.
Apa Solusinya?
Menumpas premanisme tidak cukup hanya dengan penegakan hukum. Negara harus kembali hadir—secara utuh. Hadir dengan keadilan, dengan perlindungan nyata, dengan sistem hukum yang dipercaya rakyat.
Pemerintah perlu memperkuat aparat hukum yang bersih dan transparan. Pelayanan publik harus inklusif dan menjangkau semua lapisan masyarakat. Partisipasi masyarakat sipil harus ditingkatkan agar ruang kekuasaan informal tidak lagi menjadi pilihan rasional.
Negara Harus Hadir, Bukan Hanya Ada
Premanisme hari ini bukan sekadar warisan masa lalu, tapi penanda bahwa negara belum benar-benar hadir di ruang-ruang paling penting kehidupan warga. Hercules, dan para penerusnya, akan terus muncul selama negara membiarkan kekuasaan berserakan.
Pertanyaannya kini: apakah kita masih ingin hidup dalam sistem di mana ketakutan lebih dihargai daripada hukum? Atau saatnya negara kembali mengambil alih ruang-ruang yang telah lama ditinggalkan?
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق