Siapa menyangka, merek jamu legendaris Nyonya Meneer yang berdiri sejak 1919, akhirnya runtuh bukan karena minim peminat, melainkan akibat krisis keuangan internal yang tak tertangani dengan baik.
Perusahaan ini pernah berjaya dengan 28.000 outlet tersebar di 19 provinsi, serta menembus pasar ekspor ke Amerika dan Eropa. Namun, kejayaan itu tidak mampu meredam badai utang senilai Rp252 miliar kepada 35 kreditur.
Situasi makin pelik ketika gaji karyawan tertunggak, iuran BPJS tak dibayar, dan pesangon karyawan pun tak jelas. Masalah utama bukan pada penjualan, melainkan pada manajemen arus kas yang kacau.
Konflik antar-generasi dalam keluarga pendiri memperparah keadaan. Minimnya sistem pelaporan keuangan yang akurat membuat keputusan emosional menjadi bumerang bagi perusahaan.
Banyak bisnis terlihat besar dan menguntungkan dari luar, padahal dalamnya rapuh. Tanpa pengelolaan kas harian, perencanaan anggaran, serta prioritas pengeluaran yang jelas, bisnis bisa runtuh sewaktu-waktu.
Kisah jatuhnya Nyonya Meneer menjadi cermin agar pelaku usaha tidak hanya fokus pada omzet, tapi juga arus kas. Karena dalam bisnis, keberlangsungan bukan ditentukan oleh angka besar semata, melainkan kestabilan keuangan yang terencana.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar