Mahkamah Agung Republik Indonesia genap berusia 80 tahun. Sebagai penjaga keadilan, refleksi momentum ini menegaskan pentingnya integritas, keberanian, serta komitmen menolak intervensi kekuasaan.
Sejak berdiri pada 19 Agustus 1945, MA terus menjadi benteng konstitusi. Delapan dekade perjalanan tersebut dipenuhi tantangan berat, tekanan politik, hingga ujian kepercayaan publik.
Namun, Mahkamah Agung tetap tegak. Palu dan toga bukan sekadar simbol otoritas, melainkan lambang tanggung jawab moral menegakkan hukum dengan nurani bersih.
Setiap ketukan palu hakim tidak hanya mengakhiri sidang, tetapi juga melambangkan keadilan berbicara. Gema palu menandai legitimasi keputusan yang mengikat seluruh rakyat.
Refleksi 80 tahun ini menegaskan, palu adalah benda sakral. Ia bukan ornamen seremonial, melainkan amanah besar menjaga muruah peradilan dan kepercayaan masyarakat.
Mengadili tanpa takut menjadi prinsip emas setiap hakim. Dalam tekanan politik, ekonomi, dan opini publik, keberanian moral hakim diuji secara nyata.
Hakim dituntut setia pada konstitusi, bukan pada tekanan eksternal. Sumpah jabatan menjadi ikrar suci, menegaskan loyalitas mutlak terhadap hukum dan keadilan rakyat.
Jika hakim berani teguh tanpa kompromi, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan akan menguat. Sebaliknya, keraguan akan meruntuhkan legitimasi hukum nasional.
Mengadili tanpa takut juga berarti menafsirkan hukum dengan hati nurani. Hakim tidak boleh tunduk pada godaan, tekanan, ataupun pesanan pihak tertentu.
Mahkamah Agung kini dikenal sebagai guardian of justice. Delapan dekade pengabdian menjadi bukti konsistensi menjaga supremasi hukum serta hak-hak warga negara.
HUT ke-80 MA bukan sekadar perayaan. Ia momentum refleksi agar pengadilan tetap independen, kuat, dan dipercaya sebagai benteng terakhir keadilan bangsa.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar