Buku Power and Progress karya ekonom terkemuka Daron Acemoglu dan Simon Johnson memantik diskusi penting soal bagaimana teknologi, alih-alih menjadi alat pemersatu dan penggerak kemakmuran, justru kerap memperdalam jurang ketimpangan. Dalam diskusi dan bedah buku bertema “Power and Progress: Perspektif Acemoglu tentang Ekonomi dan Politik” yang digelar di Jakarta pada Senin (05/05/2025), Dr. Agustinus Prasetyantoko dari ISEI menggarisbawahi bahwa kemajuan teknologi selama 40 tahun terakhir tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.
“Ketika dunia bertransformasi melalui kecerdasan buatan, internet, dan ekonomi digital, kita justru menyaksikan stagnasi pendapatan pekerja, dominasi perusahaan teknologi, dan krisis demokrasi digital,” ungkapnya.
Dalam buku ini, Acemoglu dan Johnson mengungkapkan bahwa teknologi bukanlah kekuatan netral. Sejak Revolusi Industri, teknologi kerap digunakan untuk memperkuat kekuasaan kelompok elite. Mesin uap yang diciptakan bukan untuk membantu pekerja, tetapi menggantikannya, menurunkan biaya tenaga kerja, dan memusatkan laba ke tangan segelintir pemilik modal.
Kondisi serupa kini terjadi dalam era digital. Platform seperti Google dan Amazon tidak hanya memonopoli ekonomi digital, tetapi juga memiliki pengaruh besar terhadap informasi publik, kebijakan, bahkan preferensi politik masyarakat.
Salah satu konsep kunci dalam Power and Progress adalah perbedaan antara Machine Usefulness (MU) dan Exploitative Automation (EA). MU berarti teknologi dirancang untuk meningkatkan kapabilitas manusia—misalnya AI yang membantu dokter membuat diagnosis. Sebaliknya, EA menciptakan teknologi yang menggantikan manusia demi efisiensi biaya, seperti otomatisasi gudang atau kendaraan otonom yang mengancam jutaan pekerjaan.
Eksploitasi teknologi jenis ini menyebabkan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir orang, memperburuk ketimpangan sosial, dan meminggirkan kelas pekerja.
Dalam bab-bab kritisnya, Acemoglu mengecam “oligarki visi” yang didorong oleh teknodeterminisme—yakni kepercayaan bahwa arah teknologi tidak bisa dikendalikan. Dalam kenyataannya, algoritma yang digunakan oleh platform media sosial terbukti memperparah polarisasi politik, menyebarkan hoaks, dan menciptakan gelembung informasi yang mengancam demokrasi. Di sinilah letak urgensi untuk mengatur ulang relasi antara teknologi dan masyarakat.
Acemoglu menegaskan bahwa arah kemajuan teknologi bisa dikendalikan lewat kebijakan publik yang berpihak pada keadilan sosial. Contoh konkret adalah pengembangan vaksin COVID-19 di AS yang berhasil karena dukungan aktif pemerintah lewat program Operation Warp Speed.
Ia juga merekomendasikan:
1. Reformasi pendidikan teknis berbasis kolaborasi manusia-AI
2. Investasi dalam pelatihan ulang tenaga kerja
3. Jaminan sosial adaptif terhadap disrupsi
4. Pajak robot dan pendanaan jaminan kerja
Indonesia saat ini berada pada titik kritis. Program Gerakan Nasional 1000 Startup, digitalisasi UMKM, dan proyek Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai $20 miliar menawarkan peluang transformatif. Namun, risiko konsentrasi pasar dan ketimpangan digital mengintai.
Solusi strategis yang ditawarkan meliputi, Pelatihan teknisi panel surya untuk pekerja sektor batubara, Pengembangan koperasi digital berbasis open-source, dan Regulasi data localization demi kedaulatan digital nasional
Acemoglu mendorong pembentukan koalisi global antara akademisi, serikat pekerja, dan pengusaha progresif. Ia mengusulkan Digital New Deal sebagai platform internasional untuk menetapkan standar etika teknologi, akses pasar yang adil, dan perlindungan data.
Ia juga membuka wacana tentang Universal basic capital (kepemilikan saham digital oleh rakyat), Data trust komunitas dan Audit etika terhadap algoritma perusahaan teknologi.
Lebih dari sekadar buku ekonomi, Power and Progress adalah manifesto moral. Ia menantang masyarakat global untuk bertanya ulang: teknologi untuk siapa? Apakah inovasi menciptakan dunia yang lebih adil, atau hanya memperkuat dominasi ekonomi elite?
Acemoglu dan Johnson menutup bukunya dengan harapan: masa depan digital bisa diarahkan. Tapi butuh keberanian politik, kesadaran kolektif, dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat banyak.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق