Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengeluarkan kecaman keras terhadap kebijakan sepihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Puri Husada Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Kebijakan tersebut berupa pengurangan jadwal hemodialisis (HD) bagi pasien gagal ginjal kronik dari dua kali menjadi hanya satu kali per minggu.
Menurut Ketua Umum KPCDI Tony Richard Samosir, kebijakan itu tidak hanya melanggar hak dasar pasien atas layanan kesehatan yang layak, tetapi juga mengancam langsung keselamatan dan kualitas hidup 97 pasien yang rutin menjalani terapi cuci darah.
“Hemodialisis bukan terapi pilihan, tetapi penunjang kehidupan. Menguranginya tanpa dasar medis adalah kelalaian serius dan pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Tony di Jakarta, Rabu (4/6).
Tony menyoroti bahwa tindakan RSUD Puri Husada bertentangan dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas, dan berkesinambungan.
“Ini mencerminkan kegagalan manajemen rumah sakit dalam menyediakan Barang Medis Habis Pakai (BMHP) untuk cuci darah. Ini bukan semata soal logistik, tapi nyawa manusia,” ujar Tony.
Ia juga menyayangkan bahwa kebijakan tersebut diberlakukan tanpa konsultasi medis, tanpa persetujuan pasien maupun keluarga, dan hingga kini tidak disertai kejelasan batas waktu maupun evaluasi terbuka.
Salah satu pasien terdampak, Muhammad Shaleh (59), mengaku terakhir kali menjalani cuci darah pada 28 Mei 2025. Padahal ia dijadwalkan kembali HD pada 2 Juni. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada panggilan dari rumah sakit.
“Badan saya terasa berat, sesak napas, kaki membengkak. Teman-teman sesama pasien banyak yang sekarang harus pakai oksigen di rumah. Ini sangat menyiksa,” ungkap Shaleh.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya tekanan darah tidak terkontrol, kelebihan cairan, risiko gagal jantung, uremia, hingga penurunan kesadaran akibat akumulasi racun dalam tubuh.
Sejumlah pasien kini dalam perawatan intensif, dan kualitas hidup mereka menurun drastis. Banyak yang mengalami kelelahan ekstrem, gangguan tidur, dan kecemasan akut karena ketidakpastian layanan cuci darah.
Langkah Tegas KPCDI: Dari Ombudsman Hingga Gugatan Hukum
KPCDI menyatakan tengah menyiapkan beberapa langkah hukum dan administratif. Di antaranya adalah pelaporan kepada Ombudsman RI, Kementerian Kesehatan, dan DPRD Indragiri Hilir. Selain itu, KPCDI juga membuka kemungkinan melayangkan gugatan hukum atas dugaan pelanggaran standar layanan kesehatan.
Organisasi ini juga akan mengajukan surat keberatan kolektif dari para pasien dan keluarga kepada manajemen rumah sakit, sekaligus mendorong jalur komunikasi alternatif agar pasien dapat segera dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki fasilitas HD memadai.
“Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan lawan kebijakan yang membahayakan hidup pasien,” tegas Tony.
KPCDI juga menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem manajemen RSUD Puri Husada, termasuk transparansi pengelolaan anggaran BMHP dan komitmen terhadap standar medis cuci darah.
Organisasi ini juga mendesak Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir dan DPRD setempat untuk segera mengambil langkah nyata. Pasien gagal ginjal membutuhkan akses rutin terhadap HD minimal dua kali seminggu, bukan pengurangan jadwal yang membahayakan.
Krisis ini menjadi pengingat penting bahwa hemodialisis adalah terapi penyelamat hidup, bukan layanan tambahan yang bisa dikurangi semaunya. Jika tidak segera ditangani, pengurangan jadwal cuci darah ini bisa memicu gelombang kematian yang seharusnya bisa dicegah.
KPCDI menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan hanya soal fasilitas, tapi tentang martabat, hak, dan nyawa pasien.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar