Dalam hukum perdata, tidak semua perjanjian yang cacat syarat, otomatis dianggap batal. Ada yang langsung batal demi hukum, ada pula yang masih dapat dibatalkan.
Perbedaan ini berkaitan erat dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal tersebut menetapkan empat syarat sah perjanjian, yakni kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang diperbolehkan menurut hukum.
Syarat tersebut terbagi menjadi dua kelompok besar. Kesepakatan dan kecakapan termasuk syarat subjektif, sedangkan objek tertentu dan sebab yang halal termasuk syarat objektif perjanjian.
Jika syarat subjektif dilanggar, perjanjian tidak langsung gugur, melainkan masuk kategori dapat dibatalkan. Artinya, perjanjian tetap sah sebelum ada putusan pengadilan.
Pihak yang merasa dirugikan atau tidak cakap dapat mengajukan pembatalan ke pengadilan. Selama belum ada putusan hakim, perjanjian tetap mengikat secara hukum.
Berbeda halnya dengan syarat objektif. Jika objek tidak jelas atau sebab terlarang, maka perjanjian otomatis batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada.
Dasar hukumnya antara lain Pasal 1335 dan 1337 KUH Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa perjanjian tanpa sebab sah atau dengan sebab terlarang tidak memiliki kekuatan hukum.
Karena syarat objektif menyangkut substansi perjanjian, pelanggarannya membuat perjanjian langsung batal tanpa perlu putusan pembatalan dari pengadilan terlebih dahulu.
Perbedaan antara batal demi hukum dan dapat dibatalkan menunjukkan pentingnya memahami dasar hukum perjanjian. Keliru memahami bisa berakibat fatal bagi kepastian hukum para pihak.
Kesadaran hukum ini diharapkan membantu masyarakat agar lebih cermat membuat perjanjian. Dengan memenuhi semua syarat, tercipta perlindungan hukum yang jelas serta adil.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق