Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Arus utama pembangunan pertanian saat ini dan masa mendatang adalah berkelanjutan (sustainable) yang berarti mampu bertumbuh terus, bersahabat dengan lingkungan, dan bertanggung jawab secara sosial. Karena itulah dalam meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian, pemerintah dan pelaku usaha harus memperhatikan dimensi keberlanjutan.
Aplikasi teknologi organik dan hayati merupakan salah satu upaya mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian yang bukan hanya untuk kepentingan saat ini tetapi juga kepentingan generasi mendatang. Pertanian yang bisa menghasilkan produk-produk bebas residu sesuai standar ekspor.
Untuk mengatasi keterbatasan lahan tanaman pangan, tahun ini pemerintah mempunyai program optimalisasi lahan rawa seluas 500 ribu ha. Salah satu kendala yang dihadapi petani dalam menanam padi di lahan rawa pasang surut adalah adanya mineral pirit (FeS2). Bila mineral ini tersingkap dan bersentuhan dengan oksigen, tanah menjadi semakin masam atau pH-nya bisa anjlok di bawah 3,5. Idealnya, padi tumbuh di lahan dengan kisaran pH 5,5-6,5.
Dalam kondisi tanah yang masam, tanaman padi sulit menyerap hara. Padi kurang subur dan berwarna kekuningan. Biasanya, untuk meningkatkan pH tanah berpirit diperlukan aplikasi sekitar satu ton kapur dolomit. Namun cara ini tidak selalu mudah bagi petani. Kini dengan teknologi organik, hanya diperlukan beberapa kilogram bahan organik sebagai antipirit dan pembenah tanah.
Selain itu, petani padi di sentra produksi juga menghadapi serangan wereng batang cokelat (WBC). Secara langsung, hama ini mengisap cairan tanaman padi. Daun menguning, kering, dan akhirnya mati. Secara tidak langsung, hama ini bisa membawa virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput yang juga menyerang padi. Bahkan, pada serangan berat bisa menyebabkan puso atau gagal panen.
Untuk mengendalikan WBC, petani dapat memanfaatkan pestisida bahan kimia sintetis. Tapi kadangkala pengendalian dengan bahan kimia sintetis ini belumlah cukup. Diperlukan biopestisida untuk menekan risiko kerusakan tanaman padi karena serangan WBC. Biopestitida ini antara lain mengandung cendawan Metharizium spp. dan Beauveria bassiana yang efektif sebagai pengendali biologis WBC pada tanaman padi.
Ada lagi Fusarium oxysporum. Cendawan penyebab penyakit (patogen) ini tidak hanya menyerang tanaman pangan, tapi juga hortikultura dan perkebunan. Inang patogen ini antara lain bawang, pisang, kentang, tomat, kubis, semangka, pepaya, anggrek, cabai, ketimun, sawit, kelapa, lada, vanili, dan kapas.
Pengendalian cendawan ini dapat dilakukan dengan bahan kimia sintetis. Tapi dalam aplikasinya, petani sering kurang memperhatikan lima tepat: tepat dosis, waktu, cara, jenis, dan sasaran sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan produk-produk pertanian yang dihasilkan. Pengendalian dengan teknologi hayati seperti menggunakan bakteri antagonis dapat menekan penyakit tersebut. Di sisi lain tetap dapat mendorong pertumbuhan tanaman tersebut.
Terkait dengan hal itu, Asosiasi Bio-Agroinput Indonesia (ABI) menggelar Seminar Nasional dan Mini Expo bertema “Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan Teknologi Organik dan Hayati.”
Gunawan Sutio, Ketua Umum Asosiasi Bio-Agroinput Indonesia (ABI) mengatakan, Tujuan diadakan seminar ini adalah untuk mengomunikasikan dan menyosialisasikan teknologi organik dan hayati dari produksi dalam negeri dalam pengendalian pirit, wereng batang cokelat, dan layu fusarium. Selain itu juga untuk mendapatkan dukungan pemerintah dan parlemen terhadap pertumbuhan dan perkembangan produksi dan aplikasi teknologi organik dan hayati dari produksi dalam negeri. Kegiatan seminar ini juga dilengkapi dengan mini expo anggota ABI yang bertujuan untuk memperkenalkan produk-produk organik dan hayati produksi dalam negeri.
Seminar menghadirkan tiga kelompok pembicara, kata Gunawan Sutio, yakni akademisi pakar ilmu tanah dan proteksi tanaman dari Fakultas Pertanian IPB Bogor, anggota Komisi IV DPR RI dan pejabat pemerintah terkait, serta petani dan Pengamat Oganisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) serta petani yang mempraktikkan cara pengendalian hama penyakit dengan teknologi organik dan hayati.
Menurut Gunawan Sutio, pupuk atau pestisida organik atau hayati sangat dibutuhkan saat ini. Di luar saja kebutuhan akan pupuk/pestisida organik dan hayati setiap harinya mengalami peningkatan. Indonesia pun harus mulai beralih, mengingat kondisi tanahnya sudah rusak. Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian harus memperhatikan dimensi keberlanjutan.
"Dalam pengertian mampu bertumbuh terus, ramah lingkungan, serta dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Melalui aplikasi teknologi organik dan hayati kita dapat mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian yang bukan hanya untuk kepentingan saat ini tetapi juga kepentingan generasi yang akan datang. Pertanian yang bisa menghasilkan produk-produk yang bebas residu sesuai dengan standar ekspor," ujar Gunawan Sutio pada Seminar Nasional dan Mini Expo “Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan Teknologi Organik dan Hayati” di Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Ibnu Multazam, Angota Komisi IV DPR mengungkapkan perlu dukungan untuk mengakselerasi penggunaan pupuk organik, salah satunya melalui pemberian bantuan combine harvester untuk mengembalikan jerami ke lahan. Pemerintah perlu mereformulasi komposisi pemupukan untuk meningkatkan unsur hara tanah. Pemerintah harus mendorong masyarakat melakukan pemupukan berimbang sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Selain itu, pemerintah dapat memfasilitasi, serta melakukan pendampingan dan pembinaan kepada petani untuk memproduksi pupuk organik yang baik.
"Pelaku bisnis organik dan hayati belum sebanyak kimia, tetapi untuk saat ini beberapa perusahaan pestisida/pupuk sudah mulai memproduksi organik dan hayati. Kalau yang menjadi anggota ABI, sudah ada 11 perusahaan yang memproduksi organik/hayati. Ini tentu kedepannya semakin bertambah, seiringnya perkembangan akan konsep organik dan ramah lingkungan," tutup Gunawan Sutio. (Arianto)