Bertempat di Ruang Catur Prasetya Lantai III Mako Polres Kutai Kartanegara telah dilaksanakan Kegiatan Jumat Curhat Dialog pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Kab. Kutai Kartanegara.
Hadir dalam acara tersebut AKBP Hari Roesena, SH, S.IK, M.Si Kapolres Kutai Kartanegara beserta pejabat utama, Ny. Dhinie Hari Rosena Ketua Bhayangkari Cabang Kutai Kartanegara bersama para pengurus Bhayangkari, KH Abdul Hanan Ketua MUI, Muhammad Sofyan Tsauri selaku Analisi Intelijen dan Terorism, Dr. Sapto Priyanyo, A.Mi., S.H., M.Si Dosen Prodi Kajian Terorisme serta para tamu undangan.
Dalam sambutannya, Kapolres menyampaikan bahwa Pancasila adalah dasar negara kesatuan Republik Indonesia, Falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang melandasi pembangunan politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan hankam, serta segala sikap hidup bangsa Indonesia, oleh karena demikian strategisnya Pancasila dalam menopang kokohnya NKRI.
"Salah satu tantangan nyata bagi keutuhan dan kesatuan bangsa ini adalah paham radikalisme dan terorisme," ucapnya.
Lanjutnya, perlu dipahami bersama bahwa ancaman terbesar terorisme bukan hanya terletak pada aspek serangan fisik yang mengerikan, tetapi justru serangan propaganda yang secara masif menyasar pola pikir dan pandangan masyarakat itu lah yang lebih berbahaya.
Ia mengharapkan dengan diadakannya dialog ini, secara sistematis dapat mencegah perkembangan radikalisme yang bisa menjadi ancaman dalam bentuk terorisme di kampus maupun dilingkungan masyarakat.
Sementara itu Ketua MUI Kutai Kartanegara juga mengajak masyarakat untuk bisa antisipasi bersama yang mana Kabupaten Kutai.
"Mari kita bangun Kab. Kutai Kartanegara ini menjadi satu bebas dari radikalisme dan Terorisme," kata Ketua MUI.
Setelah itu dilanjutkan dengan paparan oleh Muhammad Sofyan Tsauri selaku Narasumber menerangkan bahwa Radikalisme dan terorisme tumbuh karena adanya rasa intoleransi yang tinggi terhadap umat beragama.
Terdapat 4 ruang bagi radikalisasi yaitu propaganda di media sosial, doktrinasi dalam kelompok, doktrinasi dalam keluarga, doktrinasi terbuka.
Dalam fenomena radikalisme tidak ada batasan pendidikan sebagai contoh eks PNS Kemenkeu hendak gabung ISIS yang mana orang tersebut merupakan lulusan S2 Australia dan saya sendiri sebagai mantan anggota Polri yang pernah bergabung dengan kelompok jamaah Islamiyah (JI).
Lanjutnya lagi, Terorisme Indonesia menempati urutan 37 dunia dan urutan 4 Asia Pasifik pada tahun 2000 sampai dengan 2001 terdapat lebih dari 30 orang diproses hukum karena terlibat kasus terorisme.
"Di masa radikalisasi era sekarang ini ideologi asing menyebar dan mempengaruhi dengan cepat dan tanpa batas serta doktrinasi dan propaganda kelompok transnasional dapat dilakukan dengan mudah dan cepat dan radikalisasi dapat dilakukan tanpa tatap muka tidak mudah diketahui atau di pantau," ujarnya.
Selain itu Dr. Sapto Priyanyo, A.Mi., S.H., M.Si Dosen Prodi Kajian Terorisme juga menerangkan bahwa Pemerintah Indonesia membuat undang-undang terorisme tidak dikhususkan untuk umat Islam buktinya 110 responder 15 dan 17 pelaku terorisme itu merupakan non muslim sejarah presentasi terdapat 12,7% beragama Kristen.
Ia menambahkan dari hasil penelitian selama 10 tahun rata-rata usia pelaku terorisme atau radikalisme di usia 21 sampai 30 tahun dan Mayoritas pelaku radikalisme mayoritas berasal dari lembaga pendidikan SMA sebanyak 48,2% sedangkan yang berasal dari pesantren hanya 5,5%.
"Akar penyebab radikalisme dan terorisme di Indonesia ada yaitu faktor struktural yang bersifat ekonomi, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial dan ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya.
Dengan kegiatan dialog bertajuk Jum’at Curhat ini saya kira penting sebagai peran kepolisian maupun pemerintah dalam menanggulangi kelompok-kelompok radikal terorisme serta penguatan peran aktif masyarakat di masing-masing daerah. **