Temuan mengejutkan datang dari investigasi Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan Polri. Sebanyak 212 merek beras beredar tanpa memenuhi standar mutu dan label kemasan yang seharusnya sesuai ketentuan.
Ketua BPKN RI, M. Mufti Mubarok, mengungkap dua bentuk pelanggaran serius, yaitu takaran kemasan beras 5 kg yang ternyata hanya berisi 4,5 kg, serta klaim premium untuk kualitas beras biasa.
Mufti menilai praktik ini bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi termasuk penipuan sistematis oleh mafia pangan yang hanya mencari keuntungan tanpa memperhatikan keselamatan konsumen.
Ia mengingatkan, beras oplosan mengandung risiko kesehatan jangka panjang karena banyak mengandung zat kimia, seperti pemutih sintetis dan bahan pengawet yang tidak layak dikonsumsi.
Pemerintah disebut tak boleh abai. Dengan banyaknya kementerian dan lembaga yang menangani pangan, pengawasan harus terintegrasi dan tidak saling lempar tanggung jawab atas lemahnya kontrol pasar.
Mufti menyebut dua ciri utama beras oplosan: pertama, campuran tanpa label antara beras premium dan murah; kedua, beras rusak yang dipoles agar terlihat baru dengan bahan kimia berbahaya.
Zat tambahan ini, kata dia, dapat merusak hati, ginjal, hingga mengganggu sistem imun tubuh, terutama jika dikonsumsi dalam jangka panjang dan dalam jumlah besar oleh masyarakat.
BPKN menyerukan tindakan hukum tegas terhadap produsen, distributor, hingga ritel yang terlibat. Mereka juga mendorong pengembalian barang dan gugatan class action oleh masyarakat.
Mufti menegaskan bahwa semua ritel wajib membuka pos pengaduan dan mengizinkan uji kualitas langsung di lokasi penjualan agar konsumen tidak tertipu lagi dengan produk bermasalah.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto