Duta Nusantara Merdeka |
Langit SenjaDi Tepi Mahakam
Banjarmasin terkenal sebagai kota seribu
sungai. Disana juga terdapat Pasar Apung di muara sungai Barito. Banyak
pedagang sembako di dominasi kaum ibu menjajakan jualan mereka. Bahkan warung
kopi terapung pun ada untuk sarapan pagi para pedagang itu. Tampaknya mereka
damai, bahagia dan mengesankan.
Tanpa terasa perjalanan
Banjarmasin ke kota Baru, cukup juga melelahkan menempuh 11 jam dengan
speedboad. Posisi Kota Baru di Ujung Utara pulau laut sebelah Timur Banjarmasin
dipisahkan oleh Selat Laut masih wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Pada pagi itu bebberapa saat aku
menginjakkan kaki di kota Baru, Kabut Asap sedang terbang jauh. Sinar matahari
pagi menyambut kehadiranku begitu ceria dan bersahabat. Pandangan mataku masih
menngamati betapa sibuknya orang berlalu lalang dengan transaski bisnis di
pasar ikan. Maklum para nelayan baru turun dari laut dengan hasil tangkapan
ikan yang menurut mereka agak lumayan sejak Kementerian Laut dan Perikanan melakukan
gebrakan pembasmian kapal asing pencuri ikan di perairan Maritim Indonesia.
“Mas, Kok diam aja?” Gak Beli
Ikan ? Tiba-tiba secepat ramah seorang perempuan muda menyapaku tanpa kuduga
sebelumnya. Memang aku tadi memperhatikan cewek ccantik itu ketika dia memilih
ikan di pasar ramai itu.
“Oh... Tidak!” Jawabku gugup
sambil memperhatikan wanita bertubuh langsing itu diiringi senyum kuda. Aku
berfikir untuk apa beli ikan bagaimana memasaknya lagi, dimana?
“Mas ini, tampaknya bukan orang
sini ya ? Aku pun bukan orang sini tapi selalu datang ke Kota Baru ini dan beli
ikan untuk sarapan di Kafe itu !” jelas cewek Cantik itu sambil menngajakku
bejalan beberapa meter ke arah kafe yang tak jauh dari pasar ikan itu. Seperti
kerbau dicucuk hidung, aku mengikuti saja sambil ngobrol ke barat dan ketimur,
mennghormati sikap seorang perempuan yang ku nilai baik.
Di Kafe sederhana itu kami duduk
berdampingan dan menyambung obrolan tadi. Sementara pemilik kafe seorang
perempuan setengah baya memannggang ikan yang dibawa cewek itu, ternyata dia
memperkenalkan namanya Jeni. Mahasiswi semester akhir jurusan Ilmu Komunikasi
FISIPOL Universitas Lambung Magkurat di Banjarmasin. Dia mengaku usianya sudah
30-an tapi belum menyelesaikan studinya.
“Maklum aja Mas, aku dari kalangan
keluarga biasa, bukan anak pejabbat, ya beginilah !” katanya rendah hati.
Jadi nama kamu Jeni ?” Desakku
lagi ingin tahu !
Ya, Lengkapnya Jeni Wowore.
Ayahku seorang perantau asal dari Pamekasan, Madura, dan Ibuku dari Suku Dayak
yang asalnya dari Tanah Dayak di pedalaman Kalimantan Tengah, sebelah barat
Palangka Raya kata Jeni Wowore menjelaskan padaku.
“Tapi Mas gak punya nama ya ?”
tanya Jeni begitu tajam terhadapku.
“Panggil aja Mas Yud!” jawabku
asal kena saja. Jeni tertawa keras.
Kami terus ngobrol kesana kemari
dari soal kuliah, pejabat yang korupsi sampai soal pacar. Pada tahun 1998, ada
kerusuhan etnis antara masyarakat asli di Kalimantan dengan Pendatang,
mayoritas dari Madura. Beberapa tahun kemudian terjadi perdamaian, apalgi sudah
terjadi pembauran kedua belah pihak, sehingga kerukunan hidup bisa pulih
kembali.
Kerusuhan itulah membuat studiku
terkendala dan waktu itu kami sempat mengungsi pulang ke Madura,” jelas Jeni
Wowore agak menunduk seperti mengenang masaa lalu. Sementara hidangan nasi putih,
ikan bakar dan sambal kecap sudah terhidang di meja depan kami, plus dua gelas
teh manis. Sambil mennyantap hidangan saraapan pagi, kami terus mengobrol dan
semakin akrab seperti sudah lama bersahabat.
Jeni Wowore sebelumnya menetap di
Banjarmasin, kedua ayah ibu nya adalah pedagang kecil yang hidup sederhana
dengan dua orang anaknya yakni Wawan adik Jeni. Ayah Jeni. Kosim Wowore, dari
keluarga petani garam di Pamekasan, Madura, Provinsi Jawa Timur. Sebagai
keluarga petani garam yang hidup pass-pasan membuat Kosim Woowre dan
teman-temannya merantau ke Kalimanntan Selatan.
Keberadaan
Jeni Wowore di Kota Baru adalah dalam rangka Liburan dan singgah ketempat
keluarga Ibunya. Dia juga akan lanjut ke Balik Papan dan terus ke Samarinda.
Aaku juga menceritakan bahwa sejak dari Surabaya, aku dua hari berada di
Banjarmasin dan akan lanjut ke Samarinda, Kalimantan Timur. Aku memang sedang
melakukan investigassi lingkungan dan budaya (Environtmen of Investigation and
Culture) untuk referensi penulisan buku.
“Kalau Begitu bareng aja Mas Yud,
aku pun akan kesana kita naik KM Ferry, besok sampai !” sambut Jeni.
“Boleh, karena akupun tak punya
teman,” jelasku. Kami bergegas, lalu kami tinggalkan Kota Baru yang sibuk dan
mengesankan itu. Bagiku, tak mungkin dalam waktu relatif singkat bisa kembali
ke Pulau laut itu.
Samarinda adalah Ibukota Provinsi
Kalimantan Timur, yang dikenal sebagai Kota Minyak juga produsen kain songket
Samarinda yang nillainya mahal dan terkenal sampai mancanegara.
Jen, aku baru kali pertama menginjak
Bumi Saamarinda,” kataku memecah suasana kebisuan kami berdua dan Jeni Wowore
menatapku tajam.
“Oh Ya? Kalau aku sih sudah
biasa, setiap liburan mengunjungi tante disini !” katanya.
Jeni Wowore menjelaskan bahwa
tantenya, adik kandung ibunya tinggal di Samarida, suaminya kerja di kilang
minyak, dan tantenya itulah yang ikut membantu biaya kuliah Jeni Wowore.
“Jen, dimana sungai Mahakam yang
terkenal itu ?” tanyaku ingin tau.
“ Mas Yud belum tau, itulah yang
terbentang luas, kesana kita ?” tanya Jeni Wowore mengajakku.
Dia menceritakan kalau sore-sore
di hari libur banyak orang bersantai di tepi sungai Mahakam itu. Ada keluarga
bersama anak-anaknya, ada pasangan muda-mudi, mereka duduk-duduk sambil
menimati suasana senja yang menyinari sungai Mahakam, dimana banyak orang
berlalu lalang mempergunakan perahu itu sampai kecil. Kelihatannya karna
menjauh.
Sungai
Mahakam memang tempat berlalu lintas dari muara sampai ke hulu di perbatasan
dengan Malaysia di Kalimantan Utara dimana belum lama ini heboh adanya waga
Indonesia yang pindah ke negeri jiran itu karena susah hidupnya, terutama
kesejahteraan ekonminya kurang diperhatikan pemerintah.
Langit
senja di tepi Mahakam ini begitu sangat indah karena Sinar Mentari yang
berwarna kuning kemerah-merahan itu mampu meengunggah hati pengunjung untuk
berlama-lama bersantai disitu. Aku masih duduk di sebuah batu besar dekat pohon
raksasa yang terpotong di tengahnya, tapi rimbun daunnya.
“Jen, hutan belantara sudah habis
di Kalimantan ini, ya?”
“Ya, sejak zaman sebelum
reformasi hutan kita berkurang, tinggal sedikit sisa untuk menjaga keseimbangan
lingkungan hidup!” jelas Jeni seraya menjelaskan ada kayu hitam yang dilindungi
di Kalimantan Timur, masuk cagar alam Taman Nasional.
Dari kata-kata kalimat yang
diucapkan Jeni sebenarnya bisa dicermati bahwa dia cerdik dan berwawasan
pemikirannya. Dia cerita bahwa ayahnya anak petani garam di Pamekasan yang
hidup susah, maka merantau ke Kalimantan, cari penghidupan.
“Jen, Kamu ini cerdik dan
berwawasan ! Aku memujinya.
Ah, Mas Yud ini ada-ada saja”
sambutnya. Waktupun terus berggulir dan matahari perlahan-lahan akan sampai
keperaduannya.
“Mas Yud, matahari semakin jauh.
Menjelang malam aku akan sholat maghrib, berarti kita harus berpisah! Kata Jeni
agak Panjang. Dia menarik nafas seperti ada perasaan yang disembunyikan.
Betul Jen, aku juga mau Sholat.
Aku masih lama di sii, kita masih bisa berjumpa Jen !” ujarku meyakinkannya. Jeni
Wowore menatapku tajam. Dia seperti tak mau berpisah. Aku meraih dan mencium
tangan Jeni Lama-lama. Dia terharu. Hatiku terpagut mungkin Jeni orang yang
bisa kucintai dan bisa mencintaiku.
Tiba di perempatan jalan, kulepas
Jeni naik taksi menuju kerumah tantenya. Aku menatap wajahnya diantara lambaian
tangan dan senyum manisnya.
“Mas Yud, besok kita Jumpa ya?!”
Suaranya setengah berteriak.
“Oke Jen !” sambutku.
Langkahku menuju penginapan di sergap senja yang
semakin temaram. Suara Mu’azin terdengar mengumandangkan azan Maghrib terpancar
dari Menaara Masjid Agung Kota Samarinda. Allahu Akbar.... Allahu Akbar....!!! **
L