Rencana kunjungan dinas Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Rusia dan Ukraina menjadi sorotan banyak pemimpin di dunia. Dalam agenda yang telah disusun, Jokowi akan bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelensky di Kyiv, Ibu Kota Ukraina dan bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Sebelum ke Rusia dan Ukraina Jokowi akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7. Di acara ini, Indonesia hadir sebagai negara mitra G7, sekaligus sebagai Ketua Presidensi G20.
“Pertama-tama, saya ke Munich, Jerman, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7. Di acara ini, Indonesia hadir sebagai negara mitra G7, sekaligus sebagai pemegang Presidensi G20. Dari Jerman, saya memulai misi perdamaian ke Ukraina dan Rusia. Saya akan mengunjungi Ukraina bertemu dengan Presiden Zelensky, lalu ke Rusia menemui Presiden Vladimir Putin. Di dua negara tersebut, saya mengusung misi yang sama: mengajak kedua pemimpin untuk membuka ruang dialog dan menghentikan perang," tulis Jokowi dalam akun sosial medianya, Minggu (26/06)
Pengamat Politik dan Pertahanan Lulusan Universitas Pertahanan Jutan Manik mengapresiasi atas peran yang diambil Jokowi untuk tanggap dan terlibat aktif dalam upaya perdamaian antara Rusia dan Ukraina. "Perang antara Rusia dan Ukraina yang belum selesai ini berdampak signifikan pada sisi kemanusian, ekonomi, dan pangan global. Oleh sebab itu, gencatan senjata dinilai perlu segera dilaksanakan agar krisis pangan dan energi skala internasional segera kembali pulih," kata Jutan Manik dalam keterangan pers kepada media, di Jakarta. Senin (27/6/2022).
Ketika seluruh agenda kunjungan ini berjalan sesuai rencana, lanjut Jutan, "Maka Jokowi secara tidak langsung umumkan bahwa Indonesia adalah negara pertama dari Asia yang berkunjung ke Ukraina di saat perang dengan Rusia serta mendorong kedua negara agar supaya dibukanya ruang dialog perdamaian dan sesegera mungkin untuk menghentikan perang. Bahkan jika kita bandingkan dengan mayoritas anggota G7 dan beberapa Pemimpin Eropa yang hanya mengunjungi maupun mendukung Ukraina."
Politik Bebas Aktif menjadi satu alasan kunci mengapa Jokowi bisa melakukan kunjungan ke dua negara yang sedang berperang. "Politik bebas aktif artinya, Indonesia sebagai negara yang mampu menentukan sikap dan kebijaksanaannya terhadap permasalahan di dunia internasional dan tidak masuk pada salah satu blok atau tidak mengikat diri secara a priori pada satu kekuatan dunia, serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial," jelas Jutan.
Selain itu, tambah Jutan lagi, berdasarkan Konstitusi yang tercantum jelas pada Pembukaan UUD 1945 “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” serta “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
"Kunjungan Jokowi ke Rusia nantinya juga harus mampu meyakinkan bahwa Presiden Putin untuk hadir secara langsung dalam gelaran KTT G20 di Bali pada November mendatang, dimana sebelumnya beberapa negara anggota G20 menyuarakan penolakan akan kehadiran Presiden Rusia tersebut untuk hadir langsung di Indonesia," kata Alumnus Diplomasi Pertahanan Universitas Pertahanan RI
Harapan besarnya, kehadiran Indonesia diterima baik oleh kedua negara dan mampu menjadi penengah dalam konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. "Gencatan senjata harus segera dilaksanakan dan perang segera dihentikan. Jika ini berhasil sesuai rencana, maka seluruh mata dunia akan melihat peran besar Indonesia dalam misi perdamaian sesuai amanat Konstitusinya, ditambah lagi Indonesia akan menjadi tuan rumah Presidensi G20, yang akan menarik perhatian oleh seluruh dunia yang rencananya digelar di Bali November 2022 nanti," pungkas Jutan Manik. **