Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa hingga Juli 2025, terdapat sekitar 6,7 juta penduduk Indonesia terinfeksi hepatitis B. Sementara itu, 2,5 juta lainnya tercatat mengidap hepatitis C. Mayoritas kasus belum terdiagnosis, menjadikan penyakit ini sebagai “silent pandemic” yang memprihatinkan.
Peringatan ini disampaikan dalam forum 2S Talks Pandemic yang membahas ancaman penyakit menular kronis. Gejala hepatitis kerap tidak terlihat pada tahap awal, namun bisa memicu komplikasi serius seperti sirosis dan kanker hati bila tidak ditangani secara tepat.
Menurut Prof. Dr. dr. David Handojo Muljono, hepatitis tak hanya berdampak medis, tetapi juga menekan produktivitas nasional. Penularan bisa terjadi melalui jalur fekal-oral, seperti makanan dan minuman yang terkontaminasi, maupun kontak darah, termasuk penggunaan jarum suntik bersama. Penularan dari ibu ke janin juga perlu diwaspadai.
Jenis hepatitis A dan E bersifat akut dan umumnya bisa sembuh sendiri. Namun, hepatitis B dan C lebih berbahaya karena bersifat kronis, yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan hati permanen. Oleh sebab itu, skrining dini dan pengobatan tepat menjadi strategi utama menekan penyebaran.
Kemenkes mendorong masyarakat untuk lebih sadar terhadap pentingnya vaksinasi hepatitis, khususnya bagi bayi baru lahir dan kelompok risiko tinggi. Upaya preventif berbasis komunitas juga digalakkan melalui layanan Puskesmas dan kampanye kesehatan terpadu.
Dengan lonjakan angka kasus, pemerintah menargetkan perluasan akses tes serologis hepatitis dan penguatan sistem pelaporan kasus di fasilitas kesehatan. Deteksi dini tidak hanya menyelamatkan individu, tapi juga mencegah beban ganda sistem kesehatan nasional.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar