Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban Kekerasan Seksual dinilai belum menjawab kebutuhan nyata para penyintas, termasuk perempuan penyandang disabilitas yang hadapi hambatan berlapis dalam mengakses keadilan.
Koalisi Perempuan Indonesia menilai PP No. 29 Tahun 2025 seharusnya menjadi tonggak pemulihan korban kekerasan seksual. Namun, implementasinya belum menyentuh aspek pendampingan, pemulihan psikologis, dan perlindungan berkelanjutan.
Mike Verawati dari Koalisi Perempuan indonesia menekankan bahwa kebijakan ini tidak memiliki mekanisme teknis pengawasan yang jelas, serta minim panduan koordinasi antar-kementerian seperti KemenPPPA, Kemenkes, hingga Kemensos.
"Hal tersebut diatas dikhawatirkan memperburuk akses bantuan korban," kata Mike saat Konferensi pers di Jakarta, Senin (21/07/2025).
Sementara itu, Rina Prasarani dari HWDI menyampaikan kekecewaannya karena PP ini tak inklusif bagi perempuan penyandang disabilitas. Pelaporan kasus seringkali gagal karena ketiadaan pendamping hukum, penerjemah bahasa isyarat, atau pendukung psikososial.
Rina menyebut, perjuangan untuk mendapat keadilan menuntut daya tahan fisik, finansial, dan emosional—sesuatu yang tak dimiliki semua korban. Tanpa sistem yang ramah disabilitas, banyak kasus kekerasan seksual tak pernah dilaporkan.
Para aktivis sepakat bahwa konsep inklusif dalam PP ini masih sebatas jargon. Implementasi yang ideal harus membuat semua penyintas merasa terlindungi dan tidak terbebani oleh sistem hukum, sosial, atau medis yang berbelit.
PP ini harus dilengkapi panduan teknis dan sistem pelaporan yang transparan agar tidak menjadi regulasi kosong. Jika tidak diperbaiki, pelaku akan terus menyasar korban yang paling rentan, dan korban semakin enggan melapor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar