Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) akhirnya dibahas kembali oleh DPRD DKI Jakarta setelah 14 tahun tertunda. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah konkret untuk melindungi masyarakat, khususnya generasi muda, dari bahaya konsumsi tembakau.
Langkah ini disambut baik oleh kalangan akademisi dan pegiat kesehatan masyarakat. Roosita Meilani Dewi, Kepala Center of Human and Economic Development (CHED), Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, menyebut dorongan tersebut sebagai bentuk komitmen terhadap hak hidup sehat yang dijamin konstitusi.
Roosita menegaskan bahwa kekhawatiran sejumlah pihak terhadap potensi penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) akibat KTR tidak terbukti. Ia merujuk pada data realisasi pajak reklame yang justru meningkat sejak diberlakukannya larangan iklan rokok melalui Pergub No.1/2015, dari Rp714,9 miliar (2015) menjadi Rp961,3 miliar (2024), bahkan sempat menyentuh Rp1,095 triliun pada 2022.
Lebih lanjut, CHED menyebut bahwa pengeluaran rumah tangga untuk rokok justru menjadi beban ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam survei Susenas 2019, rokok menempati urutan kedua sebagai pengeluaran terbesar rumah tangga, dengan nilai mencapai Rp79.226 per bulan.
Dorongan Pengesahan dan Kepentingan Generasi Muda
CHED mendesak agar Raperda KTR segera disahkan atas tiga dasar utama: perlindungan hak kesehatan publik sebagai implementasi hak asasi manusia; penyelamatan anak muda dari adiksi nikotin dini; serta konsistensi arah kebijakan pengendalian tembakau di DKI Jakarta.
“Ini bukan semata isu kesehatan, tapi juga investasi sosial jangka panjang. Jangan biarkan 14 tahun penantian ini sia-sia,” kata Roosita.
Tidak Ada Bukti Gangguan Ekonomi dari KTR
Dollaris Riauaty Suhadi, Ketua Smoke Free Jakarta, menyatakan bahwa narasi yang menyebut KTR akan mengganggu kegiatan usaha tidak berdasar secara ilmiah maupun data lapangan.
Ia menjelaskan bahwa hasil survei publik di Jakarta pada tahun 2009, 2011, dan 2013 menunjukkan tingkat dukungan sangat tinggi terhadap larangan merokok di ruang tertutup—yakni 94% dari responden, termasuk 95% dari mereka yang merokok.
Dollaris juga menegaskan bahwa meski iklan rokok telah dilarang di berbagai regulasi, mulai dari Perda 9/2014, Pergub 244/2015, hingga Pergub 100/2021, tidak ada penurunan signifikan dalam aktivitas penjualan rokok, termasuk yang dilakukan UMKM dan warung.
“Ekonomi tetap berjalan normal. Kegiatan usaha kecil tidak terdampak. Yang terganggu justru kesehatan masyarakat jika kebijakan ini tak segera diberlakukan,” tegasnya.
Perlindungan Anak Harus Jadi Prioritas
Dukungan juga datang dari kalangan perlindungan anak. Titik Suharyati, Sekjen Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), menegaskan bahwa KTR adalah alat penting untuk membendung meningkatnya prevalensi perokok anak.
Ia menyebut bahwa umur awal perokok terus menurun jika tidak dibatasi secara tegas. “Melindungi anak-anak dari rokok adalah investasi tak ternilai. Ini soal masa depan bangsa,” katanya.
Konsistensi dengan Regulasi Nasional
Sementara itu, dr. Sumarjati Arjoso, SKM, Ketua Tobacco Control Support Centre (TCSC) IAKMI, mendesak agar Raperda KTR DKI Jakarta selaras dengan PP No. 28/2024. Ia menyarankan agar Raperda tetap mencantumkan larangan total iklan rokok, larangan rokok batangan, serta larangan penjualan produk tembakau dan rokok elektronik.
Lebih jauh, Sumarjati mendorong agar layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan daerah.
“Integrasi UBM dalam Raperda akan memperkuat pendekatan sistemik, tidak hanya mencegah, tetapi juga membantu yang ingin lepas dari adiksi,” ujarnya.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar