Penjual Liang pi (mie kulit dingin) di sebuah sudut jalan Tiongkok ini tak pernah menyangka bahwa harinya akan berubah drastis. Ia hanya ingin bertahan hidup demi bayinya yang sakit jantung bawaan.
Saat sedang berjualan seperti biasa, seorang wanita menghampiri. "Berapa harga liang pi?" tanyanya. “Sepuluh Yuan,” jawab si pedagang. Namun ia mengaku tak membawa dompet. Ia lapar, dan meminta seporsi gratis.
Pedagang muda itu tersenyum, lalu membuatkan seporsi tanpa ragu. Ia tak tahu, wanita yang ia bantu itu akan mengubah hidupnya. Sambil makan, pengunjung itu penasaran melihat si penjual membawa bayi kecil saat berdagang.
Saat ditanya, si ibu menceritakan bahwa ia harus berjualan sendiri. Suaminya meninggalkannya karena beban hidup terlalu berat. Bayinya divonis dokter mengidap penyakit jantung dan butuh perawatan mahal.
Ia pun berutang dan terpaksa bekerja keras di jalan demi menyicil pengobatan anaknya. Saat ini, ia tak punya siapa pun, hanya keyakinan dan harapan bahwa suatu hari badai akan reda.
Ia berusia 23 tahun, dan menikah di usia muda. Anaknya baru dua tahun. Tapi ia tak gentar. Baginya, tugas ayah sekaligus ibu harus ia jalani. Ia lebih takut meninggalkan anaknya, daripada tak makan.
Meskipun hanya menjual makanan murah di trotoar, ia tetap gigih. Baginya, merawat sang buah hati adalah prioritas. Ia percaya, tak lama lagi akan datang pelangi setelah hujan panjang.
Tersentuh, sang pengunjung yang sejak awal mengamati diam-diam, membuka tasnya dan mengeluarkan uang tunai 40 ribu Yuan (sekitar Rp 80 juta). Wanita penjual itu terkejut dan sempat menolak.
Namun sang dermawan mengaku bahwa ia dan timnya sudah menelusuri kisah sang ibu sebelum pertemuan itu. “Ini untuk kesembuhan anakmu. Kau wanita paling kuat yang pernah kami temui,” ujarnya.
Air mata pun pecah. Dua wanita dari latar berbeda berpelukan dalam kehangatan yang melampaui bahasa. Bukan hanya uang, tapi rasa percaya dan kekuatan hati yang menyatukan mereka.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar