Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyoroti lambannya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia
dalam konferensi pers bertajuk "Ditawan Industri Rokok: Negara Lain Sudah Sprint, Kemenkes Masih Stretching" di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Konferensi ini digelar sebagai respons atas hasil World Conference on Tobacco Control (WCTC) 2025. Negara-negara lain disebut sudah melangkah cepat, sementara Indonesia masih berkutat dengan kompromi terhadap industri tembakau.
Direktur P2PTM Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi, menyampaikan lima rekomendasi penting. Salah satunya adalah meningkatkan cukai rokok sebagai pengendali akses bagi remaja dan anak-anak yang rentan jadi target pasar.
Ia juga menekankan bahwa intervensi industri rokok menjadi penghalang utama penurunan prevalensi merokok di Indonesia. Pelarangan keterlibatan industri dalam kebijakan menjadi krusial dalam konteks global.
"Indonesia, hingga kini, belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), berbeda dengan negara produsen rokok lain seperti Tiongkok yang sudah berani menandatangani komitmen tersebut," ungkapnya.
Dengan 70 juta penduduk pengguna tembakau, Indonesia menghadapi potensi krisis kesehatan massal di masa depan. Penyakit kronis akibat rokok menjadi beban negara yang jauh melebihi pemasukan dari cukai.
IYCTC juga menyoroti maraknya pemasaran rokok elektrik beraroma manis yang menyasar anak-anak. Rasa stroberi dan cokelat menjadi cara halus menarik minat remaja tanpa batas usia yang jelas.
Kendati PP 28/2024 telah disahkan, pelaksanaannya di lapangan belum maksimal. Larangan iklan di dekat sekolah, larangan penjualan pada anak, hingga pembatasan promosi masih lemah diimplementasikan.
IYCTC menyerukan agar Kementerian Kesehatan berani bersuara atas nama kesehatan publik, bukan tunduk pada tekanan industri rokok. Perlindungan anak harus jadi prioritas, bukan korban dari tarik ulur regulasi.
Reporter Lakalim Adalin
Editor Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar