Mitos prestasi kerja keras terus digaungkan, seolah jadi kunci sukses. Namun, realitas dunia kerja menunjukkan hal sebaliknya: koneksi lebih menentukan daripada kompetensi.
Semenjak kecil, kita diajari bahwa kerja keras, prestasi akademik, dan sikap lurus adalah tiket menuju keberhasilan. Tapi kenyataan di lapangan berkata lain.
Tak sedikit orang dengan kompetensi biasa-biasa saja justru lebih cepat naik jabatan. Penyebabnya? Mereka punya akses pada relasi dan kekuasaan—bukan karena nilai tinggi atau kontribusi luar biasa.
Di banyak institusi, baik swasta maupun pemerintah, promosi jabatan tak lagi soal kemampuan. Yang punya keluarga berpengaruh, koneksi dengan pejabat, atau kedekatan dengan elite politik seringkali melesat lebih dulu.
Kondisi ini menciptakan pola yang berulang: kerja keras jadi alat legitimasi, sementara struktur kekuasaan diam-diam mengatur jalannya permainan. Yang pintar dan loyal hanya dijadikan etalase untuk pencitraan.
Ironisnya, narasi kerja keras terus dikampanyekan. Lembur dipuji. Tak ambil cuti dijadikan simbol loyalitas. Semua itu dibungkus dalam romantisme produktivitas, padahal hanya alat untuk membuat kita tetap sibuk.
Sementara mereka yang punya kuasa menikmati jalur cepat—naik jabatan tanpa kompetisi, dapat proyek tanpa tender, masuk posisi strategis tanpa seleksi publik.
Orang-orang biasa diminta ikut lomba lari, padahal yang lain sudah naik lift. Ketimpangan ini jadi bukti bahwa sistem tak dirancang untuk adil, tapi untuk mempertahankan dominasi mereka yang sudah lama di puncak.
Kita diminta terus percaya pada meritokrasi, padahal yang terjadi adalah oligarki. Mereka yang tahu “jalan belakang” justru selalu menang, sementara yang berjalan lurus justru dimanfaatkan.
Narasi ini penting diungkap karena menyangkut masa depan generasi muda yang masih percaya bahwa prestasi adalah segalanya. Mereka perlu tahu bahwa kerja keras tak cukup—perlu juga akses, keberanian, dan kesadaran struktural.
Mengungkap mitos ini bukan berarti menolak kerja keras, tapi agar kita sadar bahwa sistem yang adil perlu perjuangan kolektif. Karena kalau terus-menerus percaya mitos, kita hanya akan jadi roda penggerak yang tak pernah sampai ke atas.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar