Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menunjukkan titik terang. Pada Senin (14/5), kedua negara ekonomi terbesar di dunia itu mengumumkan kesepakatan perdagangan sementara setelah pertemuan bilateral di Swiss. Ini adalah langkah de-eskalasi pertama sejak AS mengenakan tarif resiprokal pada April 2025.
Dalam kesepakatan tersebut, AS dan China sepakat untuk memangkas tarif impor masing-masing sebesar 115% selama periode 90 hari. China akan memangkas tarif produk AS dari 125% menjadi hanya 10%, sedangkan AS menurunkan tarif impor dari China dari 145% menjadi 30%.
Kesepakatan ini tidak hanya berdampak pada tarif, tetapi juga melibatkan pelonggaran hambatan perdagangan. China dilaporkan melonggarkan pembatasan ekspor komoditas rare earth dan magnet, yang sangat penting bagi industri teknologi tinggi. Selain itu, Beijing juga mencabut larangan impor pesawat Boeing asal AS, sinyal positif bagi sektor manufaktur dan penerbangan.
Di sisi lain, AS juga mengumumkan penurunan tarif de minimis untuk barang bernilai rendah dari 120% menjadi 54%. Tarif ini berlaku untuk barang dengan nilai maksimal USD 800, dan merupakan salah satu komponen penting dalam arus perdagangan digital lintas batas.
Reaksi pasar langsung terasa. Indeks Dolar AS (DXY) menguat 1,09% ke level 101,79. Bursa saham pun melonjak: Nasdaq naik 4,35%, S&P 500 sebesar 3,26%, dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 2,81%. Pasar Asia turut menyambut positif, dengan indeks Nikkei melonjak 2,24% dan Hang Seng 1,57%. Di Indonesia, IHSG naik 2,15% ke 6.979,8, dengan arus dana asing mencapai Rp2,84 triliun—level tertinggi sejak April.
Goldman Sachs langsung merevisi proyeksi ekonomi AS. Risiko resesi dipangkas dari 45% menjadi 35%, sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 dinaikkan dari 0,5% menjadi 1%. Faktor kunci lainnya adalah inflasi yang terkendali: April 2025 mencatat IHK sebesar 2,3% YoY—terendah sejak Februari 2021.
Dengan membaiknya prospek ekonomi, ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed mulai mereda. Berdasarkan CME FedWatch Tool, probabilitas pemangkasan lebih dari 50 basis poin hingga akhir tahun turun drastis dari 75,7% menjadi 35,9%.
Meski Indonesia belum menjalin kesepakatan dagang serupa dengan AS, perbaikan hubungan AS-China membuka peluang. Stabilitas eksternal yang lebih baik dan meningkatnya minat risiko global (risk-on sentiment) memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan. Langkah ini dapat memperkuat nilai tukar rupiah dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa tarif bisa saja kembali dinaikkan jika tidak ada kesepakatan final dalam 90 hari. Namun, ia juga menyatakan bahwa saat ini belum ada rencana untuk menaikkan tarif China kembali ke 145%.
Reporter Lakalim Adalin
Editor Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar