Penangkapan paksa terhadap Charlie Chandra, pria yang mengklaim sebagai pemilik sah lahan seluas 8,7 hektare di kawasan elit Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, kembali membuka luka lama konflik agraria antara rakyat kecil dan korporasi besar di Indonesia.
Charlie dijemput paksa oleh penyidik Polda Banten dari rumahnya di Kemayoran, Jakarta Utara, pada Senin malam (20/5/2025), setelah berkas perkaranya dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi Banten. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemalsuan dokumen kepemilikan tanah yang kini diklaim oleh PT Mandiri Bangun Makmur, anak usaha dari Agung Sedayu Group milik konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan.
Menurut keterangan penyidik, Charlie sempat menghindar sejak Sabtu (18/5) dan bahkan diduga mengirimkan orang yang menyerupainya ke Polda. Setelah pendekatan persuasif gagal, aparat pun mengambil tindakan tegas dengan penjemputan paksa.
Namun, pihak LBH Advokasi Publik Muhammadiyah yang menjadi kuasa hukum Charlie menyebut langkah tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap warga yang sedang mempertahankan haknya. Mereka menegaskan bahwa keluarga Charlie telah menguasai tanah tersebut sejak tahun 1989, dan memiliki putusan pengadilan yang menguatkan klaim kepemilikannya.
"Ini bukan sekadar konflik hukum, tapi persoalan keberpihakan dan keadilan. Saat rakyat kecil mempertahankan tanahnya, mereka dijerat hukum. Tapi saat korporasi besar mengambil alih dengan paksa, semua seolah sah," ujar pengacara dari LBH Muhammadiyah.
Sengketa lahan ini sebelumnya sempat dihentikan melalui mekanisme restorative justice, namun kembali bergulir setelah permohonan praperadilan dari pihak pelapor dikabulkan. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat: apakah hukum benar-benar berpihak kepada keadilan atau tunduk pada kekuasaan modal?
Polda Banten menegaskan bahwa seluruh proses hukum terhadap Charlie Chandra dilakukan sesuai prosedur dan penangkapan dilakukan karena tersangka dianggap tidak kooperatif. Namun publik tetap menyoroti ketimpangan hukum agraria, terutama ketika konflik terjadi di kawasan-kawasan strategis seperti PIK 2.
PIK 2 adalah kawasan dengan nilai properti tinggi dan berada dalam penguasaan pengembang besar. Tak jarang, konflik serupa terjadi ketika warga mempertahankan tanah yang diklaim sebagai milik leluhur mereka namun dibenturkan dengan kekuatan modal dan birokrasi.
Kini, Charlie Chandra harus menjalani proses hukum sebagai tersangka. Namun di luar ruang sidang, perdebatan tentang keadilan pertanahan, ketimpangan kekuasaan, dan nasib rakyat kecil terus berlangsung. Publik berharap pengadilan dapat membuka semua fakta dengan adil, dan pemerintah segera membenahi sistem agraria nasional agar tidak terus-menerus menjadi ladang konflik.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar