Dunia hukum Indonesia kembali diguncang. Hakim Djuyamto, S.H., M.H., yang sempat dielu-elukan sebagai sosok reformis hukum, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Baru saja meraih gelar doktor dari Universitas Sebelas Maret (UNS) awal 2025 dengan disertasi bertajuk "Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif", kini ia malah terjerat dalam kasus suap.
Djuyamto sempat mencuri perhatian publik dengan gagasannya yang kontroversial namun visioner: hakim dapat menetapkan tersangka langsung di persidangan kasus korupsi. Banyak pihak menilai ini sebagai gebrakan menuju hukum responsif dan independen.
Namun hanya dalam hitungan minggu, kepercayaan publik runtuh. Kejaksaan Agung resmi menetapkan Djuyamto sebagai tersangka dalam kasus suap vonis lepas ekspor CPO. Fakta ini membuat publik kembali bertanya: sampai kapan dunia hukum dikuasai oleh oknum?
Kasus Djuyamto menjadi pengingat bahwa integritas hukum tak cukup hanya dibuktikan lewat gelar akademik atau orasi ilmiah. Dalam praktiknya, dunia hukum seringkali menjadi panggung drama etik yang berulang.
Masyarakat berharap agar penegakan hukum tidak lagi menjadi alat tawar-menawar kekuasaan. Langkah tegas Kejaksaan harus didukung demi membangun kembali kepercayaan publik terhadap peradilan.
Djuyamto kini hanya salah satu nama dalam daftar panjang penegak hukum yang tergelincir. Namun publik menanti, apakah ini akhir kisah atau awal perbaikan?
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar