Di tengah dinamika politik lokal, aktivis hukum Terence Cameron menggugat pasal-pasal kunci dalam Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (15/07/2025)
Bersama dua pemilih dari Bangka dan Pangkalpinang, Geszi Muhammad Nesta dan Adnisa Prettya, Terence mempersoalkan ketentuan pemenang pilkada cukup dengan suara terbanyak tanpa batas minimal.
Mereka mengajukan uji materi atas Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016. Intinya, mereka menuntut agar pilkada dilakukan dua putaran bila tak ada pasangan yang meraih lebih dari 50% suara.
Menurut Terence, aturan saat ini tidak menjamin keadilan elektoral. Seorang kepala daerah bisa menang meski hanya memperoleh 25% suara—yang berarti ditolak 75% pemilih lainnya.
Dalam keterangannya, ia mengutip Pilkada DKI Jakarta sebagai model ideal. Di Jakarta, calon harus menang lebih dari 50%, dan jika tidak tercapai, digelar putaran kedua.
Ia menilai aturan tersebut lebih adil dan mencerminkan kehendak mayoritas pemilih. Hal itu menurutnya layak dijadikan standar nasional, bukan hanya berlaku di ibu kota negara.
Terence juga menyoroti dampak hilangnya ambang batas suara dalam UU Pilkada yang sebelumnya ada dalam UU Pemerintahan Daerah. Sejak 2015, syarat minimal suara dihapus, membuka peluang calon dengan suara kecil memimpin.
Dengan banyaknya calon dalam satu daerah, suara rakyat bisa terpecah, dan pemenang bisa hanya didukung segelintir pemilih. Ini menimbulkan kepala daerah tanpa legitimasi kuat.
Menurut survei internal mereka, Pilkada 2025 di Bangka dan Pangkalpinang berpotensi menghasilkan pemenang dengan suara di bawah 30%. Hal ini dinilai sangat tidak demokratis.
Mereka berpendapat bahwa dua putaran pemilihan bukan pemborosan, melainkan investasi untuk demokrasi berkualitas. Legitimasi kepala daerah sangat penting untuk stabilitas pemerintahan lokal.
Putaran kedua juga diyakini akan menyaring calon terbaik. Calon tidak lagi mencalonkan diri hanya untuk meramaikan, tapi benar-benar mempersiapkan diri memenangkan hati rakyat.
Dengan adanya ambang suara minimal 50%+1, mereka berharap rakyat benar-benar mendapatkan pemimpin pilihan mayoritas, bukan hanya yang sekadar unggul dalam angka terbanyak.
Gugatan ini bukan semata kritik terhadap sistem, tapi juga tawaran solusi agar demokrasi lokal lebih sehat, representatif, dan memiliki legitimasi kuat dalam jangka panjang.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar