Putusan Mahkamah Agung dalam perkara perdata menegaskan perjanjian lisan penjualan tanah harta bersama yang dilakukan suami tanpa persetujuan isteri tidak sah secara hukum dan tidak mengikat.
Yurisprudensi ini merujuk pada Putusan Nomor 2691 K/Pdt/1996 yang kini menjadi salah satu pedoman hukum, dimuat dalam buku Yurisprudensi Mahkamah Agung 1998, dan dikukuhkan sebagai prinsip hukum.
Perkara bermula dari kesepakatan lisan antara penggugat dan tergugat I mengenai penjualan tanah 3,9 hektare seharga Rp2,68 miliar. Uang panjar senilai Rp80 juta diberikan dalam bentuk giro.
Penggugat menghitung potensi keuntungan hingga Rp3,2 miliar dari pembangunan 175 unit rumah, dengan harga masing-masing Rp85 juta, yang akan dijual habis dalam waktu empat tahun.
Namun, tergugat I membatalkan perjanjian tanpa alasan jelas dan mengembalikan panjar. Penggugat menuntut ganti rugi karena merasa dirugikan akibat pembatalan sepihak atas perjanjian.
Pengadilan Negeri Medan menolak gugatan karena menilai perjanjian belum dituangkan secara tertulis di hadapan notaris. Hak dan kewajiban para pihak dianggap belum jelas, termasuk objek tanah yang disengketakan.
Gugatan rekonvensi dari pihak tergugat juga dinyatakan tidak dapat diterima. PN Medan menyatakan, karena belum ada persetujuan isteri, maka tanah sebagai harta bersama tidak bisa dijual sepihak.
Namun, Pengadilan Tinggi Medan mengabulkan sebagian gugatan penggugat. Majelis Hakim banding menganggap perjanjian lisan tetap sah meski belum dibukukan notaris, selama objek dan nilai disepakati.
Hakim tingkat banding menyatakan tergugat I sebagai suami sah, berhak melakukan tindakan hukum atas harta bersama, kecuali ada perjanjian pisah harta yang terbukti tidak ada dalam perkara ini.
Meski demikian, Mahkamah Agung membatalkan putusan banding dan mengadili sendiri perkara di tingkat kasasi. MA menyatakan, perjanjian lisan hanya dianggap sebagai voor overeenkomst atau perjanjian permulaan.
Perjanjian semacam ini belum sah karena masih harus ditindaklanjuti secara tertulis di depan notaris. Oleh karena itu, MA menilai perjanjian lisan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Lebih jauh, MA mengacu Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tindakan atas harta bersama harus seizin kedua belah pihak, suami dan isteri. Dalam perkara ini, isteri tidak menyetujui penjualan.
Mahkamah Agung juga menyatakan sita jaminan yang telah dilakukan Pengadilan Negeri Medan tidak sah dan memerintahkan agar sita tersebut diangkat dan dinyatakan tidak memiliki nilai hukum.
Dari putusan ini, lahir tiga kaidah hukum penting: perjanjian lisan bukan bukti hukum sah, harta bersama butuh persetujuan bersama, dan perjanjian tanpa restu isteri tidak sah.
Putusan ini mempertegas posisi yurisprudensi sebagai sumber hukum penting. Ia berperan dalam menjaga kepastian dan keadilan dalam sistem hukum nasional, khususnya dalam sengketa harta perkawinan.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar