Konservasi bukan sekadar soal melindungi hutan atau satwa langka, tapi juga soal menghargai cara hidup masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah selama ratusan tahun menjaga keseimbangan alam. Inilah pesan utama yang disuarakan dalam peluncuran publikasi terbaru Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territories (ICCA) edisi Mei 2025 oleh Working Group ICCA Indonesia (WGII) di Jakarta, Rabu (4/6).
Dalam diskusi media yang dihadiri sejumlah perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serta awak media, WGII mengungkapkan bahwa hingga Mei 2025, tercatat 647.457,49 hektar wilayah ICCA telah terdaftar secara nasional, tersebar di 293 wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal. Tak hanya itu, melalui pendekatan spasial terhadap peta partisipatif, potensi wilayah ICCA diperkirakan mencapai 23,82 juta hektar.
Cindy Julianty, Program Manager WGII menjelaskan, “ICCA adalah bentuk pengakuan terhadap hubungan erat masyarakat adat dengan alam. Ketika kearifan lokal ini disandingkan dengan tata kelola efektif, hasilnya mampu menjaga keanekaragaman hayati lebih baik dari pendekatan konservasi konvensional.”
Sebagian besar wilayah ICCA tercatat berada di kawasan Hutan Lindung (26,9%) dan Kawasan Konservasi (21,6%). Praktik ICCA yang teridentifikasi merupakan pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun, bahkan sebelum negara hadir dengan kebijakan formal.
Dalam publikasi tersebut, ditemukan bahwa 36,4% jenis burung dan 38% jenis reptil di Indonesia berada dalam wilayah ICCA. "Fakta ini menunjukkan bahwa wilayah kelola masyarakat adat menjadi penyangga utama bagi keberlanjutan keanekaragaman hayati nasional," ucapnya.
Sementara itu, Ir. Inge Retnowati, M.E., Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK menekankan pentingnya pengakuan terhadap ICCA. “Data ini sangat penting untuk mendukung target Indonesia dalam dokumen IBSAP dan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, peran masyarakat lokal adalah kunci,” ujarnya.
Lebih dari sekadar peluncuran data, forum ini menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media. Dalam konteks target global 30x30—melindungi 30% daratan dan lautan dunia hingga 2030—ICCA hadir sebagai model konservasi berbasis komunitas yang relevan, murah, dan berkeadilan.
WGII juga menekankan pentingnya legalisasi wilayah ICCA dalam kerangka hukum nasional. Saat ini, masih banyak wilayah adat yang belum memiliki payung hukum yang memadai, membuat mereka rentan terhadap perampasan lahan dan proyek pembangunan skala besar.
"Pengakuan hukum dan perlindungan negara terhadap wilayah adat harus menjadi langkah konkret untuk menjawab ketimpangan ekologis dan sosial," tegas Cindy.
ICCA telah terbukti bukan hanya menjaga hutan tetap lestari, tetapi juga memelihara kearifan budaya, bahasa lokal, hingga struktur sosial masyarakat. Karena itu, pendekatan konservasi masa depan seharusnya bukan hanya soal zonasi dan satelit pemantauan, tapi juga soal pengakuan dan pemberdayaan komunitas penjaga alam.
Forum ini juga menjadi sarana penting bagi media untuk memperkuat narasi konservasi yang lebih adil, bukan hanya dari sisi sains dan teknologi, tapi juga dari sisi hak dan sejarah. "Kita tidak sedang menyusun data demi laporan semata, tapi kita sedang menyusun masa depan," tutup Inge.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar