Perdagangan satwa liar, utamanya hewan langka dan dilindungi, merupakan tindakan ilegal dan ancaman serius bagi kelangsungan biodiversitas Indonesia.
Indonesia sendiri sejauh ini dikenal sebagai megadiverse country — yakni negara dengan tingkat keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia, baik diukur dari segi jumlah spesies maupun tingkat endemisitasnya (kekayaan hewan endemik).
Julukan sebagai "megadiverse country" ini tentu bukan tanpa alasan. Pertama, dari aspek letak strategis geografis. Indonesia terletak di wilayah tropis dan diapit dua benua serta dua samudera. Ini menjadikan posisi Indonesia sebagai jalur migrasi dan pertemuan banyak spesies dari Asia dan Australia.
Tidak sampai di situ, karunia alam berupa sebaran jumlah pulau yang melimpah kurang lebih 17.000 pulau, menjadikan Indonesia kaya ekosistem: hutan hujan tropis, hutan bakau, padang rumput, ekosistem laut, dan pegunungan tropis. Kondisi ini memungkinkan spesies berevolusi secara unik di setiap wilayah.
Alhasil, karunia Tuhan yang begitu luar biasa membuat bangsa ini patut berbangga dan berterima kasih kepada sang pencipta.
Sayangnya, keserakahan dan kerakusan beberapa warga yang tidak punya rasa kepedulian terhadap anugrah yang ada dengan tanpa berpikir panjang memusnahkan semua hewan langka dan endemik yang ada di negeri ini.
Salah satu yang paling menyita perhatian dari aksi perdagangan ilegal hewan endemik asal Indonesia ini yakni perdagangan cula badak jawa.
Diketahui badak jawa atau bahasa Latinnya Rhinoceros sondaicus adalah salah satu spesies paling langka di dunia.
Saat ini diperkirakan hanya tersisa sekitar 80 ekor yang hidup di alam liar, khususnya di Taman Nasional Ujung Kulon.
Keberadaannya sangat rentan, bukan hanya karena perusakan habitat, tetapi juga karena perburuan untuk diambil culanya (sebuah praktik brutal yang didorong oleh permintaan pasar gelap internasional).
Cula badak sering dijadikan komoditas dengan klaim kesehatan yang sama sekali masih minim bukti. Akibatnya, badak menjadi incaran mafia perdagangan satwa liar, termasuk di Indonesia.
*Kasus Liem Hoo Kwan Willy*
Seperti telah disinggung di depan bahwa aksi perdagangan ilegal terahdap cula Badak Jawa ini bukan sekadar isu belaka.
Fenomena ini sempat tertangkap basah belum lama ini setelah aksi perdagangan ilegal cula Badak Jawa yang melibatkan sosok Liem Hoo Kwan Willy alias Willy.
Kasus ini bermula dari transaksi perdagangan cula badak Jawa hasil perburuan liar di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), yang merupakan habitat terakhir spesies badak Jawa.
Willy yang merupakan salah satu aktor penting di balik kejahatan in ditangkap oleh jajaran Polda Banten setelah diduga kuat terlibat dalam pembelian cula badak hasil perburuan tersebut.
Namun, pada pengadilan tingkat pertama di PN Pandeglang, ia dinyatakan bebas dengan alasan kurangnya bukti yang menguatkan dakwaan.
Putusan bebas tersebut akhirnya kembali direspon JPU Kejari Pandeglang dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Di MA, kasus ini berhasil ditangani dengan penuh keseriusan di mana berbagai bukti yang diajukan JPU cukup untuk membuktikan keterlibatan Willy dalam kasus perdagangan ilegal tersebut.
Hakim MA yang dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Yanto, S.H., M.H. memutuskan untuk mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang atas kasus perdagangan cula badak Jawa yang melibatkan terdakwa Liem Hoo Kwan Willy alias Willy.
Putusan MA ini membatalkan vonis bebas yang sebelumnya dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang.
Dalam putusan kasasi tersebut, MA menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1 tahun, dan denda Rp 100 juta subsider kurungan penjara selama 3 bulan. Willy dijerat, Pasal 21 Ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
*Apresiasi kepada Hakim MA*
Sosok yang patut diberi apresiasi di balik komitmen perlindungan satwa liar/hewan endemik ini yakni Prof Yanto yang telah memutus perkara tersebut dengan penuh pertimbangan hukum, etika, dan keadilan ekologis.
Dikui ataupun tidak, tepat di momen Hari Lingkungan sedunia ini, putusan MA yang dipimpin Prof Yanto menjadi tonggak penting dalam penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan.
Apa yang layak diapresiasi dari keputusan tersebut tidak hanya karena vonis tegas yang dijatuhkan, melainkan karena pertimbangan filosofis dan ekologis yang mendalam dalam amar putusannya.
Hakim hukum pidana itu dalam pertimbangannya menegaskan bahwa pelestarian hewan endemik bukan sekadar soal hukum positif.
Akan tetapi, ia adalah bagian dari tanggung jawab moral untuk menyelamatkan seluruh makhluk yang ada di republik ini.
Melindungi Badak Jawa agar tidak punah mengandung makna menjaga keseimbangan ekosistem yang lebih holistik-integral.
Manusia butuh keseimbangan ekosistem agar semua irama dan siklus hidup yang baik dapat tercipta.
Tanpa itu, kerusakan dan bencana alam yang dahsyat akan menjadi harga yang sangat mahal untuk ditebus demi kelangsungan hidup.
Karena itu, putusan ini harus dilihat sebagai bentuk pendekatan holistik yang diharapkan menjadi preseden bagi hakim-hakim lain dalam mengadili perkara serupa.
Hemat penulis, putusan ini memberi pesan kuat bahwa negara hadir dalam menjaga seluruh warisan alam.
Kejahatan terhadap satwa langka tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap masa depan generasi mendatang.
Karenanya, peran hakim dalam perkara ini harus dipandang tidak hanya sebagai penafsir hukum, tetapi juga sebagai penjaga nurani ekologis bangsa.
Dengan itu, patut diberi apresiasi kepada seluruh dedikasi dan komitmen Hakim Agung Kamar Pidana Prof. Dr. Yanto, S.H., M.H dalam menegakkan hukum dan keadian tidak hanya kepada mereka yang tertindas tapi juga alam yang terluka.
Penulis: Aktivis SUAKA 96 dan Ketua Umum IMO- Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar