Kejelasan dalam kontrak hukum merupakan fondasi penting yang menjamin keadilan dan menghindari konflik antar pihak. Sayangnya, masih banyak dokumen perjanjian yang menggunakan frasa multitafsir yang membuka peluang penafsiran subjektif dan sengketa hukum.
Salah satu contoh adalah istilah “masalah teknis” atau “secara teknis”. Tanpa penjelasan, apakah ini merujuk pada aspek hukum, sistem, atau operasional? Sebaiknya frasa ini disertai penjelasan rinci mengenai bidang teknis yang dimaksud.
Frasa “sesuai ketentuan yang berlaku” juga rawan disalahartikan. Ketentuan apa yang dimaksud? Apakah hukum nasional, peraturan internal, atau kontrak lain? Cantumkan referensi pasal atau regulasi yang jelas untuk mencegah multitafsir.
Ungkapan “dalam hal tertentu” harus dihindari karena tidak menjelaskan kondisi spesifik. Sebagai solusi, tuliskan keadaan apa saja yang termasuk dalam frasa tersebut secara rinci.
Sementara itu, kalimat “tanpa pemberitahuan sebelumnya” terkesan sepihak dan bisa merugikan pihak lawan. Idealnya, tentukan tenggat pemberitahuan, misalnya 7 hari kalender sebelum pelaksanaan tindakan.
Frasa “dengan itikad baik”, meski bernilai moral, lemah secara hukum. Penguatnya adalah indikator perilaku atau prosedur yang dapat dijadikan tolok ukur kejujuran dan integritas.
Penggunaan kata “dapat”, “mungkin”, dan “jika dianggap perlu” pun menimbulkan ketidakpastian hukum. Solusinya adalah mencantumkan syarat atau otoritas yang berwenang untuk menilai kebutuhan tersebut.
Frasa “wajar”, “segera”, dan “sebisa mungkin” tampak lugas namun tidak konkret. Sebaiknya diganti dengan angka, waktu pasti, atau indikator terukur, seperti “dalam 3 hari kalender” atau “minim 80% capaian”.
Kontrak yang kuat adalah kontrak yang jelas. Hindari kalimat abu-abu, karena satu kata bisa membuka ribuan masalah hukum.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar