Pola asuh tidak konsisten dalam keluarga bisa memicu perilaku manipulatif sejak dini. Anak belajar memanfaatkan celah komunikasi orangtua, bukan menerima keputusan atau batas yang jelas.
Misalnya, saat ibu menolak permintaan anak lalu si anak langsung mencari izin dari ayah, tanpa ada diskusi atau kesepakatan sebelumnya. Hal ini terlihat kecil, tapi efeknya besar.
Menurut psikolog anak Dr. Yuliana, kondisi seperti ini membuat anak terbiasa berpikir, "kalau satu bilang tidak, cari saja yang bilang iya." Pola manipulatif terbentuk sejak dini.
Bukan belajar sabar, anak justru belajar bahwa aturan bisa dinegosiasikan. Ia jadi lebih fokus mencapai tujuan, bukan pada proses memahami keputusan atau menghormati batas.
Anak pun lama-kelamaan bingung, siapa yang sebenarnya harus didengar? Konsistensi aturan di rumah jadi kabur. Dari sini, rasa hormat bisa berubah menjadi akal-akalan.
Orangtua kerap tak menyadari bahwa ketidaksinkronan justru merusak fondasi disiplin anak. Komunikasi internal ayah dan ibu perlu solid sebelum tampil di hadapan anak.
Jika ada beda pendapat antara ayah dan ibu, sebaiknya dibahas empat mata terlebih dahulu. Anak perlu melihat kekompakan, bukan celah dalam pola pengasuhan.
Keteladanan bukan hanya soal ucapan, tapi tentang konsistensi sikap. Anak belajar banyak dari bagaimana orangtua bersikap satu suara saat membuat keputusan bersama.
Pola asuh yang sinkron menciptakan rasa aman dan kejelasan bagi anak. Di sinilah tumbuh kepercayaan, penghargaan terhadap batas, dan fondasi kedewasaan emosional.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar