Pertanyaan “Bolehkah anak menjadi saksi perceraian orang tuanya?” kerap muncul di masyarakat. Jawabannya, boleh, namun ada syarat hukum yang ketat.
Menurut Pasal 145 Ayat (1) HIR dan Pasal 172 Ayat (1) RBg, saksi biasanya dilarang berasal dari keluarga sedarah karena dianggap rentan tidak objektif.
Aturan ini dibuat untuk menjaga netralitas dan menghindari bias emosional yang mungkin memengaruhi kebenaran keterangan di persidangan.
Selain itu, Pasal 145 Ayat (4) HIR menyebut anak di bawah 15 tahun tidak boleh menjadi saksi. Alasannya, keterangan anak sering berubah-ubah.
Namun, ada pengecualian dalam perkara perceraian. Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 22 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur kondisi khusus.
Dalam kasus pertengkaran terus-menerus (syiqaq), keluarga sedarah dapat menjadi saksi, bahkan diambil sumpahnya jika tidak ada bukti lain.
Hal ini dipertegas melalui SEMA No. 3 Tahun 2015 yang memberi ruang bagi keluarga dijadikan saksi di persidangan perceraian.
Untuk perkara perdata lain, Pasal 145 Ayat (2) HIR membuka peluang keluarga sedarah bersaksi jika terkait kedudukan para pihak atau perjanjian.
Sementara itu, anak di bawah 15 tahun dapat memberikan keterangan di pengadilan tanpa sumpah, sesuai Pasal 145 Ayat (4) HIR dan Pasal 173 RBg.
Pakar hukum menekankan, keterlibatan anak dalam sidang perceraian sebaiknya jadi pilihan terakhir demi menghindari tekanan psikologis yang berlebihan.
Praktisi peradilan juga mengingatkan, peran anak sebagai saksi harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Dengan memahami ketentuan ini, masyarakat dapat lebih bijak dalam memutuskan siapa yang layak dihadirkan sebagai saksi di persidangan.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar