Di tengah gemilangnya peradaban Islam abad ke-10, lahir tokoh pemikir besar bernama Ibnu Sina atau Avicenna, yang pengaruhnya masih terasa hingga kini.
Bukan sekadar dokter, Ibnu Sina adalah filsuf dan peneliti jiwa manusia. Baginya, kesehatan mental adalah fondasi kokoh yang menyalakan kecerdasan sejati.
Ia menegaskan bahwa kekuatan pikiran dan kejernihan jiwa adalah kunci memahami realitas. Tanpa jiwa tenang, kecerdasan tak berkembang optimal.
Dalam karyanya Al-Shifa, ia menulis, “Pengetahuan pertama manusia adalah ‘Aku ada’,” menandai kesadaran diri sebagai awal segala ilmu.
Kesadaran ini ia buktikan lewat eksperimen pikiran terkenal, “Manusia Melayang” — skenario imajiner yang mengungkap jiwa terpisah dari tubuh.
Bayangkan seseorang tercipta seketika, melayang di udara tanpa pancaindra. Meski tanpa sensasi, ia tetap sadar bahwa dirinya ada.
Gagasan ini menyiratkan bahwa jiwa adalah inti manusia, bebas dari keterikatan fisik, menjadi sumber kesadaran dan kecerdasan.
Pemikiran Ibnu Sina sejalan dengan konsep kesehatan mental modern: kesadaran diri adalah pijakan mengelola pikiran, emosi, dan perilaku.
Ia menekankan hubungan erat antara kejernihan jiwa dan kemampuan berpikir kreatif, logis, serta menemukan solusi kompleks.
Sebagai dokter, ia juga mengingatkan pentingnya keseimbangan tubuh dan jiwa. Tubuh sehat memberi energi, jiwa tenang memberi arah.
“Jiwa adalah kesempurnaan, dan tubuh hanyalah wadahnya,” tegasnya, menegaskan prioritas kesehatan mental dalam menunjang kecerdasan.
Menurutnya, kecerdasan bukan sekadar penumpukan pengetahuan, tetapi kemampuan jiwa mengolah kebenaran dan menemukan makna.
Pemikirannya melampaui zamannya, membicarakan mindfulness dan kesadaran penuh jauh sebelum istilah itu populer di dunia.
Ia mengajak manusia mengenali diri, mengatur dorongan hati, dan menumbuhkan ketenangan batin agar pikiran bekerja maksimal.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar