Gelombang ketidakpercayaan publik terhadap institusi peradilan Indonesia kian deras. Banyak pertanyaan muncul dari masyarakat, khususnya pencari keadilan, terkait kinerja lembaga peradilan yang dinilai belum menjawab kebutuhan zaman.
Meski istilah integritas hakim kerap digaungkan lewat seremoni resmi oleh pimpinan Mahkamah Agung, Plt Kepala Badan Pengawasan (Bawas), dan Dirjen Badan Peradilan Umum (Badilum), publik menyoroti minimnya aksi nyata. Surat edaran dan regulasi memang terus diterbitkan, namun hasil nyata di bagian pelayanan publik masih dipertanyakan.
Syamsul Bahri, Ketua Umum FORSIMEMA-RI, mengkritik keras minimnya evaluasi langsung oleh pimpinan MA ke lapangan. "Sidak dan monitoring berkala ke unit pelayanan publik adalah langkah mendesak agar pimpinan benar-benar memahami realitas pelayanan bagi pencari keadilan di lapangan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (07/07/2025).
"Zaman AI menuntut pimpinan peradilan yang bukan hanya simbolis, tapi mampu merespons isu dengan cerdas dan memberi solusi konkret," ujarnya. Ia menambahkan, masyarakat tidak lagi puas dengan retorika. Dibutuhkan pemimpin yang terbuka, aktif berdialog dengan media, dan mau mendengarkan keluhan pencari keadilan.
Syamsul juga menyoroti minimnya hubungan proaktif antara pimpinan MA dan awak media. Ketertutupan ini dinilai kontraproduktif bagi semangat transparansi. “Bagaimana integritas bisa dibangun jika keterbukaan terhadap publik justru dihindari?” tegasnya.
Disisi lain,, lembaga peradilan Indonesia hanya akan pulih jika ada reformasi menyeluruh—bukan hanya dalam regulasi, tetapi juga dalam kepemimpinan, budaya organisasi, dan keterlibatan publik. “Ini bukan sekadar krisis kepercayaan, ini adalah sinyal bahwa kita butuh arah baru dalam membangun keadilan yang berintegritas,” tutupnya.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar