Susana Rita, wartawan senior Kompas, membagikan perspektif menarik dalam forum Perisai Badilum. Menurutnya, ada kesamaan mendasar antara hakim dan wartawan: keduanya bekerja dengan tulisan. Hakim menulis putusan, wartawan menulis berita. Dan keduanya terikat oleh kode etik.
Dalam menjalankan tugasnya, hakim bukan hanya menyampaikan keadilan, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan publik. Kutipan Lord Dennings disebut Susana sebagai pengingat: “putusan harus bisa dipahami masyarakat, bukan hanya pihak berperkara.” Karena itu, wartawan memiliki peran penting dalam menjembatani bahasa hukum kepada publik luas.
Susana membongkar strategi penulisan berita pengadilan yang baik. Ia menekankan pentingnya memilih tema yang relevan dan menyentuh, seperti isu kemanusiaan, sosial, atau keadilan. “Kenali siapa pembacamu, lalu batasi ruang lingkup tema agar tidak melebar,” jelasnya, Senin (7/7).
Untuk teknik menulis, Susana menyarankan struktur yang komprehensif namun ringkas: maksimal 20–25 kata per kalimat dan 3–6 kalimat per paragraf. “Satu paragraf cukup satu ide,” pesannya. Bahasa yang digunakan sebaiknya sederhana, komunikatif, dan mudah dipahami oleh masyarakat umum.
Gaya penulisan naratif dengan alur mengalir dianggap paling efektif. “Gunakan analogi untuk menjelaskan hal rumit, agar pembaca mudah memahami,” tambahnya. Ia juga memberi contoh topik berita pengadilan yang menarik, mulai dari perkara unik, kontroversi hukum, hingga putusan bersejarah.
Tak hanya itu, Susana juga menjelaskan kriteria artikel opini yang layak dimuat di Kompas. Tulisan harus orisinal, belum dipublikasikan di tempat lain, dan bersifat aktual. Substansinya harus menyangkut kepentingan umum, memuat hal baru, dan ditulis tidak lebih dari 700 kata.
Pesannya jelas: baik hakim maupun wartawan punya tanggung jawab moral—melalui tulisan—untuk menyuarakan keadilan dan mencerdaskan masyarakat.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar